Peran Pajak PBB terhadap pembangunan daerah


Apabila kita membicarakan tentang pembangunan darah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut Pendapatan daerah. Dan Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan elemen yang cukup penting peranannya baik untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan maupun pemberian pelayanan kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan, makapendapatan daerah masih merupakan alternatif pilihan utama dalam mendukung program dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan, yaitu untuk pembangunan daerah

 

Untuk dapat melaksanakan pembangunan daerah tersebut tentu diperlukan dana tidak sedikit. Suatu daerah yang tidak memiliki dana yang cukup/ memadai tentu memerlukan tambahan dari pihak lain, agar program pembangunan yang telah direncanakan tersebut dapat terlaksana. Pihak lain yang dimaksud tersebut adalah lembaga perbankan, pemerintah pusat, atau pihak asing yang peduli dengan program pembangunan suatu daerah, dan tentu saja masyarakat di suatu daerah itu sendiri.

 

Pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

           

 

Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).

 

 

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Jadi disini peranan pajak adalah untuk mengoptimalkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan nantinya akan digunakan untuk pembangunan Daerah.

 

 

Walaupun baru satu tahun diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 serta peraturan perundang-undangan pendukung lainnya, berbagai macam respon timbul dari daerah-daerah. Diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai peningkatan PAD-nya secara signifikan. Namun, kreativitas Pemerintah Daerah yang berlebihan dan tak terkontrol dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah, akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha, yang pada gilirannya menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu UU No.34 Tahun 2000 tetap memberikan batasan criteria pajak daerah dan retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah.

 

 

Menurut Teresa Ter-Minassian (1997)3, beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :

 

 

Ter-Minassian, Teresa, “Fiscal Federalism In Theory and Practice”,International Monetary Fund, Washington,1997.

 

1)        Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.

 

2)        Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi).

 

3)        Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

 

4)        Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.

 

5)        Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).

 

6)        Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.

 

7)        Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.

 

8)        Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.

 

 

 

Pada intinya semua pajak dan retribusi sama saja, untuk meningkatkan pendapatan daerah, dan pendapatan itu akhirnya akan dilakukan untuk pembangunan daerah (klo engga dikorupsi), apalagi itu adalah PBB yang notabene adalah Pajak Bumi dan Bangunan, yang biasanya pajak akan disesuaikan dengan fungsinya, jadi perannya besar ^^

 

Maaf jika artikelnya kurang memuaskan, mohon kritik dan saran lebih lanjut. Bila ada yang belom jelas bisa ditanyakan lagi ^^, kalu mau Tanya fungsinya lebih lanjut monggo…

HUKUM EKONOMI Penyimpangan dalam pasar modal


Tugas Mata Kuliah

HUKUM EKONOMI

 

Disusun Oleh :

LOVETYA

 

Departemen Pendidikan Nasional

Universitas Brawijaya

Fakultas Hukum

Malang

2007

 

 

 

Tentang

Penyimpangan

Di dalam

Pasar Modal

 

Kompas Cyber Media

Politik & Hukum

Sabtu, 17 Februari 2007

 

Sosok dan Pemikiran

Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi

 

Khaerudin dan mohammad baker

 

Liberalisasi perdagangan semakin mengembangkan globalisasi ekonomi. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum suatu negara tidak bisa dihindarkan.

Globalisasi ekonomi telah menimbulkan akibat yang besar di bidang hukum suatu negara. Negara

yang terlibat terpaksa harus membuat standardisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.      

Menurut Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara Prof Dr Bismar Nasution SH MH, globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi.

 Dalam arti, substansi berbagai undang – undang dan perjanjian menyebar melewati batas negara.

 

Sayangnya, menurut Bismar, Indonesia yang telah menjadi anggota komunitas global ekonomi dunia lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau skala regional yang lebih luas dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), tidak mempunyai produk hukum ekonomi yang minimal sekalipun.

Kamis, 8 Februari 2007 di kantornya, Ketua Program Magister dan Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana USU menjelaskan panjang lebar, betapa Indonesia ketinggalan dalam bidang hukum ekonomi dibandingkan negara Etiopia.

 

Bagaimana kondisi hukum bidang ekonomi Indonesia?

Pertama, dalam kebijakan yang berkaitan dengan hukum ekonomi atau hukum bisnis, harus ada

kepastian hukum. Selama ini di Indonesia, banyak peraturan perundangan dalam kegiatan

ekonomi atau transaksi bisnis yang banyak celah yang dapat dimanfaatkan orang yang punya itikad kurang baik.

 

Mengapa bisa terjadi? Karena tidak terlepas dari krisis moneter 1997. Kita dibantu Dana Moneter Internasional (IMF) lewat letter of intent. Di situ ada suasana yang memengaruhi hukum ekonomi kita. Ada resep yang diberikan IMF waktu itu untuk pemulihan ekonomi yang tidak pas.

 

Salah satu contohnya, kita disuruh melakukan privatisasi, tetapi rule of the game, rambu untuk melakukan privatisasi tidak ada. Kita lupa menyiapkan undang-undangnya. Padahal, Etiopia, contohnya, ketika disuruh IMF atau bank dunia melakukan privatisasi, mereka menyiapkan undang-undangnya mana yang boleh, mana yang tidak boleh diprivatisasi dan kriterianya jelas.

 

Apa yang terjadi dalam hukum bisnis di Indonesia?

Pro-kontra privatisasi BUMN hanya satu contoh bahwa kita tidak punya peraturan atau hukum ekonomi yang memenuhi tiga unsur, stabilitas, prediksi, dan keadilan. Unsur stabilitas, di mana hukum berfungsi mengakomodasi kepentingan yang sedang bersaing. Unsur predictability berarti

hukum ekonomi berfungsi meramalkan akibat yang diambil. Apakah itu penting untuk rakyat?

Adakah undang-undang atau peraturan di Indonesia ini yang mengatakan pada kita, atau

menyuruh kita meneliti dulu sebelum menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Padahal,

harus diingat, pertama kali terjadi privatisasi, tantangan pertamanya adalah pemutusan

hubungan kerja (PHK).

 

Di Indonesia tidak ada aturannya. Tidak ada yang spesifik mengatur itu. Sekarang ada Peraturan Pemerintah tentang privatisasi (Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005), namun setelah kita baca tidak ada yang spesifik, mana yang boleh diprivatisasi mana yang tidak. Undang-undang di bidang ekonomi tidak ada yang bisa meramalkan, apakah kalau kita menjual BUMN atau mendatangkan investasi asing, bisa menguntungkan buat kita? Masalah kedua, tidak ada aturan yang menyatakan uang hasil privatisasi harus dibawa ke mana. Apakah untuk mengisi defisit anggaran belanja negara atau mengembangkan perusahaan itu. Seperti Indosat setelah dijual, tidak pernah ada transparansi uangnya digunakan ke mana dan untuk apa. Unsur

meramalkan dalam hukum ekonomi juga tidak ada.

 

Apakah kita benar-benar tidak memiliki undang-undang di bidang ekonomi yang bisa memuat unsur stabilitas, predictability dan fairness?

Baru satu undang-undang di Indonesia ini yang saya lihat bisa memangkas birokrasi, yakni UU No 8/1995 tentang Pasar Modal. Unsur stabilitas dalam UU itu, misalnya, berisi pemangkasan birokrasi. Isinya menentukan jika dalam 45 hari setelah perusahaan mendaftar di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), urusan administrasi selesai atau tidak, dikerjakan atau tidak oleh aparat Bapepam dokumennya, otomatis saham perusahaan itu dapat diperjualbelikan. Adakah perda atau UU yang mengatakan apabila 45 hari setelah investor mengurus investasinya di Indonesia, otomatis dia boleh mengerjakan pabriknya. Ini kan satu UU yang menekankan pemangkasan birokrasi yang di Indonesia sangat berlebihan. Pemangkasan itu pun terjadi baru di investasi portofolio. Di pasar modal. Mengapa UU No 8/1995 itu tidak diterapkan pada undang-undang yang lain.

 

Bahaya besar

 

Bismar Nasution melihat, ada bahaya besar yang mengancam perekonomian Indonesia dalam masa mendatang jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengabaikan hukum di bidang ekonomi. Guru besar yang lahir di Kotanopan, Mandailing Natal, 29 Maret 1956, ini menuturkan, banyak pengusaha curang yang bisa memanfaatkan kelemahan produk hukum ekonomi di Indonesia. “Di pasar yang aturannya sudah jelas saja, tipu-tipunya sangat tinggi,” kata pengajar mata kuliah Hukum Pasar Modal ini.

 

Kalau seperti ini kondisinya, berarti tidak ada jaminan untuk investor bisa tenang berinvestasi

di Indonesia?

Seperti kasus Perusahaan Gas Negara (PGN), yang mengatakan pipa gas dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat akan tersambung Desember 2006, ternyata tidak selesai sampai Januari 2007. Anehnya, dengan aturan yang sudah jelas saja, Bapepam hanya mengacu pada peraturan Bapepam tentang keterbukaan informasi. Padahal, bukan itu. Bapepam harus mengacu pada pasal 93 UU No 8/1995. Itu sudah jelas penipuan. Ini yang membuat kita bertanya dalam hati. Orang asing kan melihat, PGN yang menipu informasi, cuma dikasih sanksi administrasi. Padahal, melihat kasusnya, tanpa berpikir panjang saya mengatakan itu, bukan peraturan Bapepam yang dilanggar, tetapi pasal 93 UU No 8/1995 tentang penipuan informasi. Sebab, PGN telah berjanji menyelesaikan pembangunan pipa gas itu lewat prospektus. Kalau janji tidak ditepati, apa namanya itu?

 

Problem yang paling mendasar sebenarnya ada di mana?

Kalau menurut saya, problemnya adalah waktu membuat undang-undang, kita tidak

membuatnya dengan baik. Kita tidak membuat naskah akademik, rancangan akademik yang kuat untuk melahirkan suatu undang- undang, apalagi perda.

Seperti sampai hari ini undang-undang tentang investasi belum disahkan. Itu kan karena ada tarik ulur. Padahal, kalau nanti Putaran WTO Doha ditandatangani, tidak ada larangan rumah sakit berikut dokter dari Malaysia membuka praktik di Indonesia. Sekarang saja orang Medan, sudah ke Penang untuk berobat. Nanti, orang Medan enggak perlu lagi ke Penang, karena Rumah Sakit Malaysia dan dokternya datang ke sini. Bagaimana kesiapan kita, untuk kompetitif dengan mereka. Bagaimana kesiapan undang-undang praktik kedokteran, bagaimana kesiapan perda

kita.

 

DPR atau DPRD cenderung kalau melihat persoalan, kemudian langsung diperdakan seperti Undang-Undang Antipornografi yang sebenarnya tidak semendesak undang-undang di bidang ekonomi. Apa persoalannya?

 

Persoalannya kita tidak mempunyai skala prioritas. Sekarang CGI dibubarkan. Artinya kita harus

mencari uang sendiri, kita harus meminta arus modal, datang kemari. Bagaimana kita

mendukung pembubaran CGI yang memang diinginkan banyak orang, tetapi kita sendiri di dalam tidak menyiapkan perangkat perundangan dengan baik. Kita meminta orang masuk membawa modal, sementara undang-undang dan perda kita ini satu sama lain masih bertabrakan. Tadi dibilang perda yang penting tidak ada, yang tidak penting malah muncul. Naskah akademik ada dan kajian akademik ada, tetapi setelah digodok DPR, hasilnya tidak sama dengan naskah akademiknya karena undang-undang kan produk politik.**

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.        LATAR BELAKANG

 

Hukum berfungsi untuk menciptakan dan menjaga ketertiban serta kedamaian di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu terdapat adagium “Ibi ius ubi Societas “, (dimana ada masyarakat disitu ada hukum).

Dalam perkembangan hukum, dikenal dua jenis hukum yaitu: hukum Privat dan hukum Publik. Hukum Privat mengatur hubungan antara orang perorangan, sedangkan hukum publik mengatur hubungan antara negara dengan individu.

Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Menurut mazhab Jerman, perkembangan hukum akan selalu tertinggal dari perkembangan masyarakal. Perkembangan di dalam masyarakat, menyebabkan pula perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Kondisi demikian mendorong terjadinya perkembangan di bidang hukum privat maupun hukum publik. Kegiatan yang pesat di bidang ekonomi misalnya, menurut sebagian masyarakat menyebabkan peraturan yang ada di bidang perekonomian tidak lagi dapat mengikuti dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang ini, sehingga dibutuhkan aturan yang baru di bidang hukum ekonomi.

Hukum Ekonomi Keuangan merupakan salah satu bagian dari Hukum ekonomi yang salah satu aspeknya mengatur kegiatan di bidang Pasar modal. Marzuki Usman menyatakan pasar modal sebagai pelengkap di sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan.[1] Pasar Modal merupakan tempat dimana dunia perbankan dan asuransi meminjamkan dananya yang menganggur.[2] Dengan kata lain, Pasar Modal merupakan sarana moneter penghubung antara pemilik modal (masyarakat atau investor) dengan peminjam dana (pengusaha atau pihak emiten).

Keberadaan pasar modal menyebabkan semakin maraknya kegiatan ekonomi, sebab kebutuhan keuangan (financial need) pelaku kegiatan ekonomi, baik perusahaan‑perusahaan swasta, individu maupun pemerintah dapat diperoleh melalui pasar modal.

Dalam UUPM, selain dimuat sanksi perdata dan administrasi, juga dilengkapi dengan sanksi pidana yang diatur dalam Bab XV tentang “Ketentuan Pidana” (Pasal 103‑ Pasal 110). Perumusan sanksi pidana dalam Undang‑Undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran hukum (tindak pidana) pasar modal, baik yang berkualifikasi sebagai kejahatan, maupun pelanggaran.

Berdasarkan artikel pada ”Kompas Cyber Media, Politik & Hukum, Sabtu, 17 Februari 2007  tentang Sosok dan Pemikiran , Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi oleh Khaerudin dan mohammad baker”, maka sangat menarik untuk dibahas secara lebih lanjut, maka akan bahas salah satu kasus diatas yaitu tentang penyimpangan – penyimpangan yang terjadi di dalam Pasar Modal

 

 

B.         PERMASALAHAN

 

Berdasarkan artikel pada ”Kompas Cyber Media, Politik & Hukum, Sabtu, 17 Februari 2007  tentang Sosok dan Pemikiran , Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi oleh Khaerudin dan mohammad baker”, maka banyak sekali permasalahan yang terdapat di dalam perekonomian di Indonesia, salah satu nya adalah tentang Pasar Modal, banyak pengusaha curang yang bisa memanfaatkan kelemahan produk hukum ekonomi di Indonesia termasuk penyimpangan terhadap UU No 8/1995 tentang Pasar Modal, sehingga saya menganbil permasalahan tersebut yaituBagaimanakah pandangan hukum Ekonomi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku‑pelaku ekonomi,  yang berkaitan dengan pasar modal, selama ini” ?

 

 

 

C.        TUJUAN

 

            Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah menjawab permasalahan yang sudah dirumuskan yaitu untuk :

 

Untuk memberikan pemaparan tentang pandangan hukum ekonomi terhadap panyimpangan – penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku – pelaku ekonomi, yang berkaitan dengan pasar modal selama ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

I.                   Penyimpangan – penyimpangan di dalam Pasar Modal

 

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan‑keinginan hukum (yaitu pikiran‑pikiran badan pembuat undang‑undang yang dirumuskan dalam peraturan‑peraturan hukum) menjadi kenyataan.[3] Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasi­kan hubungan nilai‑nilai yang terjabarkan di dalam kaedah‑kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lan­jut dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor‑faktor tersebut. Faktor‑faktor ini mempunyai yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari effektivitas penegakan hukum. Faktor‑faktor tersebut adalah :[4]

1.   hukum (undang‑undang).

2,   penegak hukum, yakni fihak‑fihak yang mem­bentuk maupun menerapkan hukum.

3.   sarana atau fasilitas yang mendukung pe­negakan hukum.

4.   masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.

5.   dan faktor kebudayaan, yakni sebagai. hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Di dalam suatu negara yang sedang mem­bangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kon­trol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk mela­kukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound (1870‑1874) salah seorang tokoh Sosiological Jurisprudence, hukum adalah as a tool of social engineering disamping as a tool of social Control

 

Dalam penegakan hukum ekonomi dalam kegiatan pasar modal, maka diperlukan konsep penegakan hukum yang lain, yang dimaksud dalam tulisan ini adalah  penegakan hukum dalam arti Law Enforcement.  Joseph Golstein, membedakan penegakan hukum pidana atas tiga macam yaitu [5]

Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif.  Penegakan hukum yang pertama ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat  oleh hukum acara pidana. Disamping itu, hukum pidana substantif itu sendiri memiliki kemungkinan memberikan batasan-batasan.  Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut dengan area of no enforcement.

Kedua,  Full Enforcement,  yaitu Total Enforcement setelah dikurangi area of no enforcement, dimana penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, tetapi menurut Goldstein hal inipun sulit untuk dicapai (not  a realistic expectation),  sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal, alat-alat dana dan sebagainya yang dapat menyebabkan dilakukannya diskresi

Ketiga,  Actual Enforcement, Actual Enforcement ini baru dapat berjalan apabila, sudah terdapat bukti-bukti yang cukup.  Dengan kata lain, harus sudah ada perbuatan, orang yang berbuat, saksi atau alat bukti yang lain, serta adanya pasal yang dilanggar.

Memperhatikan beberapa pendapat di atas, penegakan hukum  dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penegakan hukum dalam arti luas seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari buku Hoefnagels, serta penegakan hukum dalam srti sempit yang lebih ditujukan pada penegakan peraturan perundang-undangan atau yang lebih dikenal dengan Law Enforcement

 

Penegakan hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pasar Modal

Bapepam adalah  lembaga  regulator dan pengawas pasar modal, dipimpin oleh seorang ketua, dibantu seorang sekretaris, dan tujuh orang kepala biro terdiri atas;

          Biro perundang-undangan dan Bantuan Hukum

          Biro Pemeriksaan dan Penyidikan

          Biro Pengelolaan dan Riset

          Biro Transaksi dan Lembaga Efek

          Biro  Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa

          Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.

          Biro Standar dan Keterbukaan.

Bila terjadi pelanggaran perundang-undangan pasar modal atau ketentuan di bidang pasar modal lainnya maka, Bapepam sebagai penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran tersebut, hingga bila memang telah terbukti akan menetapkan sanksi kepada pelaku tersebut. Penetapan sanksi akan diberikan atau diputuskan oleh ketua Bapepam setelah mendapat masukan  dari bagian  pemeriksaan  dan penyidikan Bapepam.   Bila mereka yang dikenai sanksi dapat menerima putusan tersebut.  Maka pihak yang terkena sanksi akan melaksanakan semua yang telah ditetapkan oleh Bapepam.  Permasalahan akan berlanjut bila sanksi yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat diterima atau tidak dilaksanakan, misalnya denda yang telah ditetapkan oleh Bapepam tidak dipenuhi oleh pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran, maka akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan, dengan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan penuntutan.

Demikian pula dengan Bursa Efek, sebagai lembaga yang menyelenggarakan pelaksanaan perdagangan efek, apabila di dalam melakukan transaksi perdagangan efek menemukan suatu pelanggaran, yang berindikasi adanya pelanggaran yang bersifat pidana,  lembaga ini akan menyerahkan pelanggaran tersebut kepada Bapepam untuk dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.

Kewenangan melakukan penyidikan terhadap setiap kasus (pelanggaran peraturan perundangan pidana) bagi Bapepam, diberikan oleh KUHAP seperti tercantum di dalam ketentuan Pasal 6 (ayat 1) huruf  (b). yang menyebutkan :

“Penyidik adalah  aparat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”

Kewenangan ini merupakan pengejewantahan dari fungsi Bapepam sebagai lembaga pengawas.

Tata cara pemeriksaan di bidang pasar modal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995.   Bapepam akan melakukan pemeriksaan bila :

1. Ada laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tentang adanya pelanggaran   peraturan perundang-undangan pasar modal

2.      Bila tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau dari pendaftaran dari Bapepam ataupun dari pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam, dan

3.      Adanya petunjuk telah terjadinya pelanggaran perundang-undangan di bidang pasar modal

Di dalam melaksanakan fungsi pengawasan, menurut UUPM Nomor. 8 Tahun 1995 bertugas dalam pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pelaku ekonomi di pasar modal.  Dalam melaksanakan berbagai tugasnya ini, Bapepam memiliki fungsi antara lain, menyusun peraturan dan menegakkan peraturan di bidang pasar modal, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan pendaftaran dari Bapepam dan pihak lain yang bergerak di bidang pasar modal, menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, maupun lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lainnya.

Dengan berbagai fungsinya tersebut, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur, dan efisien serta dapat melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.

Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum, Bapepam bersikap proaktif bila terdapat indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal. Dengan melakukan pemeriksaan, dan atau penyidikan, yang didasarkan kepada laporan atau pengaduan dari pelaku-pelaku pasar modal, data tersebut dianlisis oleh Bapepam dan dari hasil tersebut dijadikan konsumsi publik dengan melakukan pemberitaan melalui media massa.

Sejak tahun 1997, Bapepam melaksanakan press release secara  berkala kepada masyarakat, antara lain melalui media massa dan media internet.   Presss Release yang dikeluarkan oleh Bapepam, merupakan bentuk publikasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai kondisi, dan keberadaan suatu perusahaan, dan juga kebutuhan masyarakat akan informasi pasar modal lainnya misalnya, bila ada kebijakan perundang-undangan yang baru dari Bapepam.  Selain itu pula,  kebijakan untuk selalu membuat laporan kepada masyarakat melalui press release ini adalah merupakan perwujudan dari prinsip kejujuran dan keterbukaan (tranparansi) yang dianut oleh lembaga pengawas pasar modal ini.

 

Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pasar Modal.

Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995,  separti halnya KUHP, juga membagi tindak pidana di bidang pasar modal menjadi dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang pasar modal.  Dari kasus-kasus pelanggaran  perundang-undangan di atas, sebagaimana telah dijelaskan ketika membahas tentang kejahatan pasar modal, bahwa selama ini belum ada satu kasuspun yang penyelesaiannya melalui jalur kebijakan pidana, tetapi melalui penjatuhan sanksi administrasi, yang penyelesaiannya dilakukan oleh dan di Bapepam.  Baru pada tahun 2004 terdapat satu kasus tindak pidana pasar modal yang sudah sampai ke pihak kejaksaan, dengan kata lain proses penyelesaiannya akan melalui sistem peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, meletakkan kebijakan kriminal melalui hukum pidana terhadap tindak pidana pelanggaran pasar modal dalam Pasal 103 ayat (2), yaitu pelanggaran Pasal 23,  Pasal 105, dan Pasal 109.  Untuk jelasnya  akan dikutip berikut ini;

Pasal 103 ayat (2)

Pelanggaran pasar modal  disini adalah,  pelanggaran terhadap Pasal 32 yaitu :

          Seseorang yang melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin efek. Wakil perantara pedagang efek atau wakil menager inveatsi  tanpa mendapatkan izin Bapepam

          Ancaman bagi pelaku adalah maksimum pidana selama 1 (satu) tahun kurungan dan denda  Rp. 1000.000.000.00.-(satu milyar rupiah)

Pasal 105

Pelanggaran pasar modal yang dimaksudkan disini adalah pelanggaran Pasal 42 yang dilakukan oleh Manajer investasi, atau pihak terafiliasinya, yaitu :

Menerima imbalan (dalam bentuk apapun), baik langsung  maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi manejer investasi itu untuk membeli atau menjual efek untuk reksa dana.

Ancaman pidana berupa pidana kurungan maksimum 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1.000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).

Pasal 109

Yang dilanggar disini adalah perbuatan tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan Pasal 100, yang berkaitan dengan kewenangan Bapepam dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap semua pihak yang diduga atau terlibat dalam pelanggaran UUPM

 

 

Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan di samping aspek hukum, juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, tetapi menemui kesulitan untuk mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis. Menurut tradisi, membicarakan etika bisnis terbatas pada topik tertentu seperti iklan yang menyesatkan, itikad baik dalam negosiasi kontrak, larangan penyuapan. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan tanggung jawah moral dari bisnis berkembang dari keputusan pemasaran seperti melanggar etika menjual produk yang berbahaya. masalah pemberian upah yang adil, tempat kerja yang melindungi kesehatan dan keselamatan buruh, etika dalam merger dan akuisisi, sampai kepada kerusakan lingkungan. Pendeknya semua keputusan bisnis, khususnya yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan, yang mempengaruhi banyak individu, organisasi lain dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menghadirkan masalah etika yang serius. Di dalam kenyataannya etika yang ditegakkan atas dasar kesadaran individu-individu tidak dapat berjalan karena tarikan berbagai kepentingan, terutama untuk mencari keuntungan, tujuan yang paling utama dalam menjalankan bisnis. Oleh karenanya, standar moral harus dituangkan dalam aturan-aturan hukum yang diberikan sanksi. Disinilah letaknya campur tangan negara dalam persaingan bebas dan kebebasan berkontrak, untuk melindungi pihak yang lemah. Oleh karena itu hukum juga sepanjang sejarahnya bersumber pada dan mengandung nilai-nilai moral

 

Masa datang ini perlu memberikan prioritas pada Undang-Undang yang berkaitan dengan

akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis. Optimalisasi sumber pembiayaan pembangunan memerlukan pembaruan Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Pasar Modal. Indonesia juga harus menerapkan Undang-Undang “money laundering” dengan konsekuen, antara lain untuk memberantas kejahatan narkotika dan korupsi. Ekonomi pasar yang didominasi oleh aktivitas pasar yang illegal akan tidak menjadi efisien, dan cenderung akan mendorong ketidak adilan dan pemerasan.

Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

I.          KESIMPULAN dan SARAN

 

Dapat disimpulkan perlu diperhatikan agar baik peraturan Hukum maupun berbagai organisasi dan lembaga hukum yang ada, seperti DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan maupun berbagai departemen yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja pelaku ekonomi Indonesia dan/atau asing yang beroperasi di Indonesia, dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan dan pembangunan ekonomi yang sudah lama kita cita-citakan.

Untuk itu tentu saja diperlukan beberapa hal sebagai berikut :

1. Adanya kesepakatan secara nasional tentang paradigma sistem ekonomi nasional seperti apa yang harus kita bangun, sesuai dengan kententuan konstitusi-konstitusi kita, khususnyaPembukaan dan pasal 33 dan 34 juncto pasal 27 dan 28 UUD 1045 yang telah 4 (empat) kali di amandemen;

2. Adanya interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik antara para ahli di bidang ekonomi, termasuk para pengusaha dan pengambil keputusan di bidang hukum (eksekutif, legislatif dan yudikatif);

3. Adanya kesadaran bahwa bukan saja hukum yang harus tunduk pada tuntutan-tuntutan ekonomi, seperti di masa Orde Baru, sehingga segala asas hukum harus minggir demi pencapaian tujuan di bidang ekonomi, tetapi sebaliknya juga, bahwa untuk mendapat tujuan pembangunan ekonomi, maka langkah-langkah di bidang ekonomi itu sendiri memerlukan kepastian hukum dan jalur (channel) hukum, sehingga terjalin sinergi antara bidang hukum dan ekonomi.

 

Sinergi itu sendiri diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara sistematik maupun pembangunan Sistem Hukum Nasional, sehingga pada gilirannya baik Sistem Ekonomi Nasional maupun Sistem Hukum Nasional akan semakin mantap dalam perspektif Pembangunan yang Berkelanjutan.

Tentu saja sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih lagi mendukung pembangunan sistem ekonomi nasional secara positif, dan seterusnya. Tidak seperti dimasa lalu ketika pambangunan hukum diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan Penguasa, tetapi berteriakteriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum, begitu krisis moneter mengancam kelangsungan kehidupan dan pembangunan ekonomi, yang nota bene disebabkan oleh sikap arogan para ahli dan pelaku ekonomi

sendiri, seakan-akan Hukum hanya merupakan penghambat pembangunan

ekonomi saja

 

.

Hukum Sebagai Sistem

 

Biasanya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang – undang saja.

Padahal, peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :

a. asas-asas hukum (filsafah hukum)

b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :

1. Undang-undang

2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang

3. yurisprudensi tetap (case law)

4. hukum kebiasaan

5. konvensi-konvensi internasional

6. asas-asas hukum internasional

c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar

hukum

d. pranata-pranata hukum

e. lembaga-lembaga hukum termasuk :

1. struktur organisasinya

2. kewenangannya

3. proses dan prosedur

 

4. mekanisme kerja

f. sarana dan prasarana hukum, seperti ;

1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem

manajemen perkantoran

2. senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)

3. kendaraan

4. gaji

5. kesejahteraan pegawai/karyawan

6. anggaran pembangunan, dan lain-lain

g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.

Maka sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Irsan Nasarudin, M. dan Indra Surya,  2004,  Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta Y. Sr i Susilo, dkk,   Bank  dan  Lembaga Keuangan Lain, Penerbit Salemba Empat, Jakarta:2000 

           

Khaerudin dan mohammad baker, Kompas Cyber Media,Politik & Hukum

         Sosok dan Pemikiran Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi

               ,Sabtu, 17 Februari

         http://www.kompas.com

:

PROF. DR. C.F.G SUNARYATI HARTONO, S.H, UPAYA MENYUSUN HUKUM EKONOMI INDONESIA PASCA TAHUN 2003

 

Bapepam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa perbedaan antara hambatan dan kesempatan? Perbedaannya terletak pada sikap kita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan; dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan.”

~ J. Sidlow Baxter ~

 


[1]  Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti,  2001, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi,  Rineka Cipta, Jakarta,  Hlm. 5.

 

[2]  Ibid., Hlm. 11

[3]  Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm. 24.

[4]  Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983,  hlm.5.

[5]  Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, 1995, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 16.

HAK ASASI MANUSIA


BAB I

PENDAHULUAN

 

 

1.1          Latar Belakang

                Hak asasi manusia merujuk kepada hak yang dimiliki oleh semua insan. Konsep hak asasi manusia adalah berdasarkan memiliki suatu bentuk yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh semua insan manusia yang tidak dipengaruhi oleh asal, ras, dan warga negara. Oleh karena itu secara umum hak asasi manusia dapat diartikan sebgai hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian Tuhan. Ruang lingkup hak asasi manusia itu sendiri adalah:

1.     Hak untuk hidup

2.     Hak untuk memperoleh pendidikan

3.     Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain

4.     Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama

5.     Hak untuk mendapatkan pekerjaan

Dalam hal proses penegakan hukum, apabila implementasi lebih berorientasi pada penghoirmatan terhadaphak asasi manusia maka akan lebih “menggugah” masyarakat untuk menjunjung tinggi hukum itu sendiri.

Dalam hubungannya dengan hal ini, hak asasi manusia memiliki dua segi yaitu segi moral dan segi perundangan. Apabila dilihat dari segi moral, hak asasi manusia merupakan suatu tanggapan moral yang didukung oleh anggota masyarakat. Sehubungan dengan segi ini anggota masyarakat akan mengakui wujud hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap individu, yang dianggap sebagai sebagaian dari sifat manusia, walaupun mungkin tidak tercantum dalam undang-undang. Jadi, masyarakat pun mengakui secara moral akan eksistensi hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia.

Dari segi perundangan, hak asasi manusia diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks nasional, tak dapat dipungkiri bahwa isi dari adat istiadat dan budaya yang ada    di Indonesia juga mengandung pengakuan terhadap hak dasar dari seorang manusia. Apabila dilihat dari konteks ini, maka sebenarnya bangsa Indonesia sudah memiliki pola dasar dalam pengakuannya terhadap hak asasi manusia. Dasar-dasar hak asasi manusia di Indonesia terletak pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

                Sedangkan dalam hubungannya dengan konteks internasional, hak asasi manusia (HAM) merupakan substansi dasar dalam kehidupan bermasyarakat di dunia, yang terdiri dari berbagai macam unsur adat istiadat serta budaya yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Jadi yang dimaksud dengan hukum hak asasi manusia internasional adalah hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari pelanggaran yang terutama dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalam upaya penggalakan hak-hak tersebut. Oleh karena itu, dengan dilakukan dialog dan pedekatan antar suku bangsa di dunia, maka dimungkinkan dapat mewujudkan penerapan hak asasi manusia yang jujur dan berkeadilan. Dalam hal hak asasi manusia dilihat dari konteks internasional ini, tentu penerapan, mekanisme penegakan hingga penyelesaiannya pun lebih kompleks bila dibandingkan dengan penanganan hak asasi manusia dalam lingkup nasional.

                Walaupun perkembangan dunia sudah semakin maju dan kompleks, selama ini penegakan hak asasi manusia hanya diikat perjanjian bilateral antarnegara yang sifatnya moral. Padahal di sisi lain, masyarat internasional harusloah tunduk pada mekanisme internasional dalam hal penegakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, instrumen internasional sangatlah dibutuhkan untuk mewujudkannya. Dalam hubungannya dengan penulisan makalah ini, sebagai awal kita harus mengetahui mengenai konsep hukum internasional itu sendiri. Hukum internasional diartikan sebagai hukum yang hanya mengatur hubungan antar negara.

Kemudian pada masa setelah Perang Dunia ke-II diperluas hingga mencakup organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional yang memiliki hak-hak tertentu berdasarkan hukum internasional. Manusia sebagai individu dianggap tidak memiliki hak-hak menurut hukum internasional, sehingga manusia lebih dianggap sebagai obyek hukum daripada sebagai subyek hukum internasional. Teori-teori mengenai sifat hukum internasional ini kemudian membentuk kesimpulan bahwa perlakuan negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh hukum internasional, sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap hak negara-negara lainnya. Karena hukum internasional tidak dapat diterapkan terhadap pelanggaran HAM suatu negara terhadap warga negaranya, maka seluruh permasalahan ini secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi domestik setiap negara. Dengan kata lain, masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu negara.

Dari keseluruhan alasan itulah, maka kelompok kami ingin mendeskripsikan  mengenai mekanisme penegakan hak asasi manusia internasional baik dari konsep mekanisme, perkembangannya dari dahulu maupun implementasinya dalam perkembangan dunia saat ini.

 

1.2          Perumusan Masalah

1.     Apa latar belakang timbulnya mekanisme penegakan Hak Asasi Manusia internasional?

2.     Apakah mekanisme penegakan Hak Asasi Manusia Internasional yang telah berjalan hingga saat ini?

 

1.3          Tujuan Penulisan

1.     Untuk mendeskripsikan latar belakang timbulnya mekanisme penegakan Hak Asasi Manusia internasional sehingga timbul mekanisme yang telah berjalan hingga sekarang.

2.     Untuk mendeskripsikan mekanisme penegakan Hak Asasi Manusia internasional baik dari segi konsepsi maupun implementasinya di dalam kehidupan pergaulan masyarakat internasional.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

2.1 Latar Belakang Timbulnya Mekanisme Hak Asasi Manusia Internasional

2.1.1           Perkembangan Hukum HAM internasional

2.1.1.1 Masa Sebelum Perang Dunia ke-II

Hukum HAM internasional bermula dari sejarah perkembangan doktrin-doktrin dan institusi-institusi internasional. Yang penting diantaranya adalah doktrin dan lembaga, intervensi humaniter, tanggung jawab negara terhadap kerugian yang diderita orang asing, perlindungan golongan minoritas, Sistem Mandat dan Minoritas dari LBB, serta hukum Humaniter Internasional.

2.1.1.2    HAM dan Hukum Internasional Tradisional

Secara tradisional, hukum internasional diartikan sebagai hukum yang hanya mengatur hubungan antar negara. Oleh karena itu, negara merupakan satu-satunya

subyek hukum internasional dan memiliki hak-hak hukum menurut hukum internasional. Definisi tradisional ini kemudian pada masa setelah Perang Dunia ke-II diperluas hingga mencakup organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional yang memiliki hak-hak tertentu berdasarkan hukum internasional.

Manusia sebagai individu dianggap tidak memiliki hak-hak menurut hukum internasional, sehingga manusia lebih dianggap sebagai obyek hukum daripada sebagai subyek hukum internasional. Teori-teori mengenai sifat hukum internasional ini kemudian membentuk kesimpulan bahwa perlakuan Negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh hukum internasional, sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap hak negara-negara lainnya. Karena hukum internasional tidak dapat diterapkan terhadap pelanggaran HAM suatu negara terhadap warga negaranya, maka seluruh permasalahan ini secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi domestik setiap negara. Dengan kata lain, masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu negara. Namun demikian, masih terdapat pengecualian terhadap aturan ini dalam bentuk intervensi humaniter.

 

2.1.2           Generasi Perkambangan HAM Internasional

2.1.2.1    Generasi Pertama

Pemikiran mengenai konsepsi HAM era enlightenment di eropa

adanya dokumen resmi :

a. Universal Declaration Of Human Rights PBB

b. Magna Charta & bill of Rigts (Inggris)

c. Declaration of independen (Amerika)

2.1.2.2    Generasi Kedua

Konsepsi HAM mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kebutuhan ekonomi, sosial dan kebudayaan termasuk hak atas pendidikan, hak status politik, hak menikmati ragam penemuan.

Puncaknya : Internatioal Couvenant on Economic Social & Cultural Rights 1966

2.1.2.3    Generasi Ketiga

Mencakup hak untuk pembangunan atau rights development (1986)

Persamaan untuk maju bagi segala bangsa termasuk setiap individunya.

Hak berpartisipasi dalam pembangunan, Hak menikmati  ekonomi, sosial dan kebudayaan termasuk hak atas pendidikan, hak status politik, hak menikmati ragam penemuan, distribusi pendapatan, kesempatan bekerja

Benang erah Konsepsi HAM Generasi 1,2 dan 3

Konteks hubungan kekuasaan vertikal : Negara Vs rakyat

Pelibatan negara sebagai crime by goverment – crimes againts goverment

 

 

 

 

 

 

2.1.2.4    Generasi Keempat

ü  Mencakup pola hubungan horizontal antar kelompok masyarakat, antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang berbeda negara

ü  Hubungan ekonomi ; konsumen, lingkungan hidup, ketenaga kerjaan.

ü  Kompleksitas relasi antara berbagai segmentasi atau kelompok, individu.

Fenomena Pendorong HAM Generasi 4

TNC dan MNC

Nation without state

Global citizen

 

Hak-hak Minimal Yang Harus Ada :Dari Generasi HAM 1,2,3,dan 4 (76Point)

ü  Hak hidup dan kelangsungan hidupKebebasan berbicara (menyatakan pendapat)

ü  Hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani

ü  Kebebasan beragama dan menganut kepercayaan

ü  Kebebasan beribadah

ü  Hak anak atas kemerdekaan berpikir, hati nurani, dan agama di bawah arahan orang tua

ü  Hak atas persamaan (bebas dari perlakuan yang diskriminatif)

ü  Hak diakui sebagai manusia pribadi di depan hukum

ü  Hak atas persamaan di depan hukum

ü  Hak persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik

ü  Hak persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya

ü  Hak warga negara mendapatkan pelayanan pemerintahan atas dasar persamaan

ü  Hak wanita menerima upah yang sama, termasuk tunjangan, untuk pekerjaan yang sama

ü  Hak atas pemeriksaan dan pengadilan yang adil menurut ketetapan hukum

ü  Hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah

ü  Hak atas pembangunan

ü  Kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan

ü  Hak terpidana mati untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman

ü  Hak terbebas dari perbuatan dan perdagangan budak

ü  Hak anak untuk dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan, pendidikan, atau perkembangannya

ü  Hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan penyalahgunaan seksual, termasuk pelacuran dan keterlibatan pornografi

ü  Hak anak untuk dilindungi dari penjualan, perdagangan, dan penculikan anak

ü  Hak calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan dengan persetujuan sukarela

ü  Tanggung jawab orang tua membesarkan dan mengembangkan anak

ü  Hak para terdakwa yang masih remaja agar dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin dibawa ke sidang pengadilan

ü  Hak wanita atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk terhadap fungsi melanjutkan keturunan

ü  Hak dan tanggung jawab wanita yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan

ü  Hak atas ganti rugi yang memadai atau memuaskan dari pengadilan atas segala bentuk kerugian akibat diskriminasi

ü  Hak korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah atas kompensasi yang dapat diberlakukan

ü  Kewajiban negara mengutuk diskriminasi rasial dan menyusun kebijakan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar-ras

ü  Hak atas pembayaran yang sesuai dengan pekerjaan

ü  Hak atas penggajian yang adil dan menguntungkan

ü  Hak terbebas dari dijadikan sebagai objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan secara sukarela yang bersangkutan

ü  Hak kelompok minoritas untuk menikmati kebudayaan mereka sendiri, menganut dan mempraktekkan agamanya, serta menggunakan bahasanya secara pribadi maupun di depan publik, dengan bebas dan tanpa campur tangan maupun diskriminasi dalam bentuk apa pun 

ü  Hak masyarakat asli untuk diakui nilai dan keanekaragaman dari identitas, kebudayaan, dan organisasi sosial mereka yang berbeda

ü  Hak anak cacat fisik dan mental mendapatkan pemeliharaan, pendidikan, dan pelatihan khusus

ü  Hak ibu mendapatkan perlindungan khusus selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan, dan bagi ibu yang bekerja mendapatkan cuti dengan gaji atau jaminan sosial yang memadai

ü  Hak atas harta kekayaan secara sendiri atau pun bersama dalam suatu asosiasi

ü  Hak membentuk serikat pekerja dan bergabung ke dalam serikat pekerja pilihannya sendiri

ü  Hak untuk melakukan pemogokan

ü  Hak atas kebebasan pendapat, informasi, dan ekspresi

ü  Negara akan menyediakan pemeliharaan yang memadai bagi anak jika orang tua, wali, atau orang lain yang bertanggung jawab gagal melaksanakannya

ü  Tanggung jawab negara menjamin agar terpenuhi hak anak mendapatkan pendidikan

ü  Tanggung jawab pertama orang tua untuk menjamin anak mendapatkan standar kehidupan yang memadai

ü  Hak untuk berkumpul secara damai

ü  Hak untuk berserikat dengan orang lain

ü  Hak serikat pekerja membentuk federasi atau konfederasi nasional dan hak konfederasi nasional membentuk atau bergabung ke dalam organisasi serikat pekerja internasional

ü  Persahabatan antar-semua bangsa dan kelompok ras, etnik, atau agama untuk memajukan kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian

ü  Hak kelompok minoritas etnis, agama, atau bahasa untuk menjalankan agama, ibadah, atau bahasa mereka sendiri

ü  Hak untuk kawin dan membangun keluarga

ü  Hak semua bangsa menentukan nasibnya sendiri yang memberikan kebebasan untuk menentukan status politik dan untuk memperoleh kemajuan ekonomi, sosial, dan budaya

ü  Hak semua bangsa secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka sendiri

ü  Hak kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan lembaga pendidikan

ü  Hak terbebas dari campur tangan sewenang-wenang atau yang tidak sah atas kehidupan pribadi, keluarga, rumah tangga, atau hubungan surat-menyurat atau pun tidak boleh diserang kehormatan dan nama baik

ü  Hak anak untuk hidup dengan orang tuanya kecuali untuk kepentingan terbaik anak

ü  Hak anak untuk dilindungi dari penyalahgunaan obat-obatan narkotik dan psikotropik dan  dari keterlibatannya dari produksi atau distribusi

ü  Kewajiban negara mencegah perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia

ü  Hak untuk terbebas dari ancaman serius terhadap kehidupan dan kesehatan akibat pembuangan bahan serta limbah beracun dan berbahaya

ü  Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

ü  Negara harus menjamin agar anak tidak terlibat secara langsung dalam permusuhan, tidak boleh dimasukkan ke angkatan perang, dan agar anak yang dipengaruhi konflik bersenjata dilindungi dan dipelihara

ü  Hak masyarakat tradisional agar identitas budaya, termasuk hak atas tanah rakyat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman

ü  Kewajiban negara membuat peraturan untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran

ü  Hak atas jaminan sosial

ü  Hak atas pekerjaan

ü  Hak atas standar hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial yang perlu

ü  Hak untuk mendapatkan akses ke tempat atau pelayanan umum, seperti transportasi, hotel, restoran, kafe, gedung bioskop, dan taman

ü  Hak atas pendidikan

ü  Hak menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya

ü  Hak atas suaka di negeri lain

ü  Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

ü  Hak ikut serta dalam pemerintahan

ü  Hak memilih dan dipilih pada pemilihan umum

ü  Hak mendapatkan pelayanan pemerintahan 

ü  Hak asasi manusia mengandung nilai-nilai inti yaitu

ü  Kebenaran (truth): kesesuaian antara apa yang dipikir-kan, dirasakan, diyakini, atau diamalkan dan kenyataan yang sesungguhnya; kepercayan atau keyakinan  suara hati bahwa apa yang dihayati, diperjuangkan, atau diamalkan adalah baik dan benar.

ü  Persamaan dan keadilan (equality and justice): sikap, pengakuan, dan perlakuan yang sama tanpa perbedaan atas dasar sex, ras, warna kulit, keturunan, etnik, bangsa, bahasa, kebudayaan, atau agama (non-diskriminasi). Keadilan : pemberian apa yang menjadi hak subjek.

ü  Keadilan hukum :perlakuan yang adil dalam proses hukum dan peradilan yang adil dan benar menurut hukum.

ü  Penghargaan terhadap martabat manusia (respect for human dignity): Hormat terhadap hak asasi tiap orang karena kedudukan atau harkatnya sebagai manusia

ü  Integritas (integrity): keteguhan demi tegaknya moralitas dan perilaku etis

ü  Akuntabilitas (accountability): tanggung jawab pribadi atas gugatan yang diajukan dan sikap menerima konsekuensi atas tindakan seseorang

ü  Kejujuran (honesty): satunya kata dan perbuatan

ü  Penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan (acceptance / appreciation of diversity) Manusia itu distinct but equal (berbeda-beda tapi sama) dari segi martabat kemanusiaan. Perbedaan itu harus diterima, diakui, dan dihargai/dilayani.

ü  Kerja sama (co-operation): kesediaan bekerja sama antar- individu, antar-kelompok, antar-organisasi, dan antar-bangsa

ü   

2.2          Mekanisme Penegakan Hak Asasi Manusia Internasional

Sejak 1960-an secara perlahan-lahan di PBB terbentuk mekanisme untuk menilai sejauh mana negara memenuhi (observe) atau tidak memenuhi norma dan prinsip hak asasi manusia. Mekanisme ini ada yang berhubungan dengan situasi umum sebuah negara dan ada pula yang menanggapi pengaduan bersifat individual Ada pula yang berhubungan dengan semua hak asasi sementara yang lain hanya pada hak-hak asasi tertentu.

Prosedur/mekanisme itu tergantung sejauh mana negara menjadi peserta traktat bersangkutan. Disamping itu secara perlahan pula terbangun mekanisme yang menekankan aspek yudisial yaitu Pengadilan Pidana Internasional Permanen (ICC) berdasarkan Statut Roma. Aturan yang diklaim sebagai acuan dari UU Pengadilan HAM.

2.2.1       Sistem Mekanisme HAM Internasional

2.2.1.1    Sistem Mandat

Pasal 22 Covenant membentuk Sistem Mandat LBB yang diterapkan terhadap bekas wilayah-wilayah jajahan negaranegara yang kalah perang dalam Perang Dunia ke-I. Berdasarkan sistem ini, bekas koloni tersebut ditempatkan di bawah Mandat LBB dan dikelola oleh negaranegara pemenang perang. Para Pemegang Mandat ini setuju untuk memerintah berdasarkan prinsip bahwa kehidupan dan pembangunan penduduk daerah Mandat merupakan “a sacred trust of civilization …”. Negara Pemegang Mandat berkewajiban memberikan laporan tahunannya kepada Liga mengenai tanggung jawab yang diberikannya, yang kemudian dibahas oleh Komisi Mandat LBB. Komisi Mandat LBB kemudian secara bertahap memperoleh kewenangan untuk mengawasi pemerintahan di daerah Mandat termasuk mengawasi perlakuan terhadap penduduknya.

Ketika LBB digantikan PBB , Sistem Mandat ini digantikan dengan Sistem Perwalian, dimana PBB mempunyai kewenangan untuk mengawasi daerah-daerah Mandat yang masih tersisa dan wilayah-wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. Salah satunya adalah Namibia (Afrika Barat Daya) ditempatkan di bawah Sistem Mandat dengan Pemegang Mandat Afrika Selatan yang pada masa PBB selama bertahuntahun tidak mentaati segala aturan yang ditetapkan berdasarkan Sistem Perwalian PBB. Bahkan Afrika Selatan pada masa itu menerapkan sistem politik apartheid dan sangat rasialist.

2.2.1.2      Standar Perburuhan Internasional

Pasal 23 Covenant sangat erat hubungannya dengan HAM, karena menekankan pentingnya kondisi yang adil dan manusiawi bagi buruh pria, wanita, dan anak-anak. Pasal ini pun mendasari pembentukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang masih menjalankan fungsinya hingga sekarang dan merupakan badan khusus PBB. Kegiatan legislasi dan  prosedur pengawasan yang dimilikinya telah mendorong ketaatan terhadap standar perburuhan internasional dan telah cukup banyak memberikan sumbangan berharga terhadap peningkatan kondisi kerja dan  perkembangan hukum HAM internasional.

2.2.1.3      Sistem Minoritas

LBB sangat berperan pula di dalam pengembangan sistem perlindungan bagi golongan minoritas. Walaupun tidak tercantum di dalam Covenant, namun kewenangan untuk melindungi kaum minoritas ini diperolehnya melalui serangkaian perjanjian yang dibuat setelah usainya Perang Dunia ke-I. Berakhirnya perang tersebut telah merubah peta bumi politik Eropa dan Timur Tengah dimana lahir beberapa negara baru atau menyebabkan beberapa Negara mendapatkan kembali kemerdekaannya. Diantaranya adalah Polandia, Chekoslovakia, Hongaria, Yugoslavia, Bulgaria, Albania, dan Rumania, termasuk kantong-kantong golongan minoritas berdasarkan etnis, bahasa, dan agama.

Golongan minoritas ini mempunyai cukup alasan berdasarkan sejarah atas kekuatiran bahwa tata politik yang baru dapat mengancam kelangsungan budaya mereka. Untuk itu pemerintah-pemerintah dari negara-negara pemenang perang (Principal Allied and Associated Powers) dan negaranegara baru membentuk perjanjian khusus untuk melindungi kaum minoritas tersebut. Perjanjian pertama yang membentuk system perlindungan ini adalah Perjanjian antara Principal Allied and Associated Powers dan Polandia yang ditandatangani di Versailles pada tanggal 29 Juni 1919, yang kemudian dijadikan model bagi perjanjian-perjanjian serupa. Pada intinya, perjanjian-perjanjian tersebut mengharuskan negara-negara yang menganut sistem minoritas untuk menerapkan prinsip non-diskriminasi terhadap anggota golongan minoritas yang dilindungi dan menjamin hak-hak khusus untuk melestarikan integritas etnis, bahasa, dan agamanya, termasuk hak untuk menggunakan bahasanya secara resmi, hak untuk menjalankan pendidikan dan hak untuk menjalankan peribadatan.

Untuk menjamin penataan terhadap perjanjianperjanjian ini, setiap perjanjian berisikan klausula yang menyatakan bahwa kewajiban untuk melindungi kaum minoritas ini merupakan kewajiban internasional serta menempatkan LBB sebagai penjamin penataan kewajiban tersebut. LBB bersedia menjadi penjamin dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh para pihak peserta perjanjian-perjanjian tersebut yang pelaksanaannya dijalankan dengan mengembangkan suatu institusi untuk menangani petisi yang diajukan kaum minoritas atas pelanggaran terhadap hak-haknya. Petisi tersebut dibahas oleh Komite III LBB dan memberikan kesempatan kepada negara-negara yang bersangkutan untuk mengemukakan pandangannya. Apabila diperlukan, Mahkamah Internasional Permanen dapat memberikan pendapatnya dari segi hukum.

Walaupun beberapa perjanjian mengenai perlindungan minoritas ini masih berlaku hingga kini, tetapi Sistem Minoritas LBB tidak dikenal lagi dalam kerangka PBB. Namun demikian, di dalam perkembangannya kemudian tampak bahwa kelembagaan hukum HAM internasional yang modern ternyata menyerupai kelembagaan yang pertama kali dikembangkan oleh LBB khususnya dalam menangani sistem minoritas. Untuk beberapa tahun sejak berdirinya PBB tampak bahwa perhatian PBB dan lembaga internasional lainnya terhadap perlindungan kaum minoritas sangatlah kecil. Mereka lebih memusatkan perhatiannya kepada hak-hak individu, non-diskriminasi, dan perlindungan yang sama (equal protection).

Dengan berakhirnya Perang Dingin dan munculnya gelombang nasionalisme di berbagai bagian dari dunia ini, masyarakat internasional kembali mulai memberikan perhatiannya kepada pengembangan norma-norma dan institusi internasional yang diperlukan untuk melindungi hak-hak minoritas. Dalam hal ini, telah dilakukan berbagai langkah baik dalam kerangka PBB ataupun organisasi regional Eropa.

2.2.2       Pertanggungjawaban Negara atas Kerugian Orang Asing

Pada mulanya hukum internasional tradisional mengakui bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk memperlakukan warga negara asing di wilayahnya sesuai dengan standar minimum peradaban dan keadilan. Kewajiban ini dianggap harus dipenuhi oleh negara yang merupakan kewarganegaraan dari para individu karena manusia tidak mempunyai hak berdasarkan hukum internasional. Dengan demikian, apabila seseorang diperlakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum internasional oleh suatu pemerintahan asing, maka Negara yang merupakan kewarganegaraan orang tersebutlah yang berhak melakukan tindakan terhadap negara pelanggar tersebut. Apabila terjadi kerugian yang diderita orang tersebut, maka negara yang telah melakukan tindakan kepada Negara pelanggar memberikan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya kepada warga negara yang dirugikan tersebut. Namun demikian, pembayaran ganti rugi ini tidak diatur oleh hukum internasional.

Persengketaan mengenai tuntutan berdasarkan hukum pertanggungjawaban negara atas kerugian yang diderita orang asing ini biasanya diselesaikan melalui perundingan diplomatik. Apabila ganti rugi tidak dipenuhi oleh negara pelanggar, kadang-kadang digunakan penggunaan kekerasan. Di samping melalui saluran diplomatik, penyelesaian sengketa ini seringkali dilakukan melalui lembaga arbitrase ataupun lembaga peradilan internasional. Fiksi hukum yang menyatakan bahwa kerugian yang diderita seseorang di luar negeri merupakan kerugian dari Negara yang merupakan kewarganegaraan dari orang yang bersangkutan, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa Negara merupakan satu-satunya subyek hukum internasional.

Di samping fiksi ini tidak memberikan perlindungan kepada orang yang tanpa kewarganegaraan dan kepada orang yang merupakan warga negara dari negara yang melakukan pelanggaran. Substansi hukum yang dapat diberlakukan terhadap tuntutan negara atas nama warga negaranya diturunkan dari prinsip-prinsip umum hukum (Lihat sumber hukum internasional menurut Pasal 38 ayat 1 (c) Statuta Mahkamah Internasional).

 

 

Prinsipprinsip ini berawal dari hukum alam dan berbagai doktrin hukum nasional mengenai perlakuan individu. Lembaga arbitrase dan peradilan internasional menggunakan asasasas hukum dan doktrin tersebut untuk merumuskan konsep-konsep antara lain, denial of justice dan minimum standard of justice. Ketika hukum internasional modern memberikan pengakuan bahwa individu,tanpa memperdulikan kewarganegaraannya, memiliki HAM tertentu yang sangat mendasar, kemudian prinsip-prinsip substantif dari hukum pertanggungjawaban negara yang berupa kumpulan norma-norma digunakan untuk mengkodifikasikan hukum HAM. Karena dewasa ini terjadi evolusi yang dramatis dan kodifikasi yang ekstensif dari hukum HAM, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum HAM memberikan sumbangan yang  besar bagi hukum pertanggungjawaban negara.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa antara hukum pertanggungjawaban negara tentang kerugian yang diderita orang asing dan hukum HAM memiliki hubungan yang erat dan timbal balik. Sementara hukum HAM berkembang, hukum pertanggungjawaban negara tentang kerugian yang diderita orang asing menunjuk kepada pelanggaranpelanggaran terhadap HAM yang fundamental, negara-negara juga menyandarkan kepada norma-norma HAM yang kontemporer sebagai dasar tuntutan bagi kerugian yang diderita oleh warga negaranya.

Walaupun hukum HAM tumbuh berkembang, hukum pertanggungjawaban negara terhadap kerugian yang diderita orang asing terus memegang peranan yang penting di dalam hubungan diplomatic kontemporer. Negara-negara tetap mendukung tuntutan warga negaranya, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai badan hukum atau korporasi. Dewasa ini tindakan berdasarkan hal ini lebih sering digunakan dibanding dengan digunakannya hak-hak dan kewajiban yang dituangkan di dalam perjanjian investasi bilateral dan multilateral.

 

 

 

 

2.2.3       Hukum Humaniter

Hukum humaniter yang merupakan cabang dari hukum internasional, sekarang dapat diartikan sebagai komponen HAM di dalam hukum perang. Hukum ini lebih tua usianya dibandingkan dengan hukum HAM. Perkembangannya yang modern dapat ditelusuri dari serangkaian gagasan yang dikemukakan oleh Swiss pada abad ke-19 yang kemudian melahirkan perjanjian internasional mengenai aturan-aturan kemanusiaan yang diterapkan dalam melakukan peperangan.

Gagasan ini telah melahirkan Konvensi Jenewa 1864 yang ditujukan untuk melindungi tenaga-tenaga medis dan rumah sakit serta mengharuskan penampungan dan perawatan kombatan yang luka dan sakit. Konvensi ini kemudian diikuti oleh Konvensi Hague III tahun 1899 yang berisikan aturan-aturan kemanusiaan bagi peperangan di laut. Konvensi-konvensi ini kemudian diperbaiki dan disempurnakan beberapa kali, yang kemudian sekarang merupakan suatu hukum yang secara lengkap mencakup hampir semua aspek sengketa bersenjata yang modern. Kesemuanya itu dituangkan ke dalam Konvensi Jenewa 1949 dengan dua protokolnya.

Walaupun hukum humaniter modern lebih dahulu lahir dibandingkan dengan hukum HAM internasional, namun pengaruh hukum HAM dapat ditemukan di dalam hukum humaniter. Sebagai contoh, protokol-protokol yang lahir kemudian mencerminkan asas-asas hukum HAM modern. Perlu dicatat bahwa degoration clauses dari hukum HAM internasional diambil dari hukum humaniter, termasuk juga kewajiban-kewajiban para Negara peserta. Dengan demikian, hukum HAM internasional modern mencakup juga hukum humaniter, yang berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap manusia baik dalam keadaan damai maupun perang.

 

 

 

 

 

 

2.2.4       Hukum HAM Tradisional dan Modern

Hukum internasional tradisional telah mengembangkan berbagai doktrin dan institusi untuk melindungi berbagai kelompok manusia, seperti budak belian, kelompok minoritas, penduduk asli, warga negara asing, korban pelanggaran berat HAM, dan kombatan. Hukum dan praktek negara-negara telah melahirkan dukungan konsepsual dan kelembagaan bagi perkembangan hukum HAM internasional kontemporer. Terlebih-lebih banyak institusi dan doktrin lama yang hidup terus secara berdampingan yang kemudian sekarang telah membentuk bagian yang tak terpisahkan dari hukum HAM modern. Dalam berbagai bidang tertentu, cabang hukum ini telah terpengaruh secara keseluruhan oleh pendahulunya. Perhatian terhadap akar sejarah hukum HAM internasional akan memberikan pemahaman yang mendalam terhadap bidang hukum ini.

Sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian berikutnya, hukum HAM internasional modern sangatlah berbeda dari yang dikenal di dalam sejarah yang mendahuluinya, di mana manusia sebagai individu dianggap memiliki jaminan secara internasional atas hak-haknya, dan tidak sebagai warga negara dari suatu Negara tertentu. Saat ini telah lahir berbagai lembaga internasional yang memiliki yurisdiksi untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negaranya maupun oleh negara lain. Walaupun mekanisme ini masih dirasakan kurang memadai dan kurang efektif, namun kecenderungan menunjukkan bahwa instrumen dan institusi HAM internasional yang tumbuh menjamur dibentuk untuk mengimplementasikan hukum tersebut, sehingga internasionalisasi HAM mengatasi harapan-harapan lain.

Perkembangan ini pada gilirannya telah menimbulkan iklim politik yang menempatkan perlindungan HAM sebagai hal yang terpenting di dalam agenda panggung politik internasional kontemporer yang melibatkan pemerintah, organisasi pemerintah, termasuk pula LSM yang memiliki jaringan internasional. Akibatnya adalah, manusia di seluruh muka bumi ini semakin menyadari bahwa Negara dan masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk melindungi HAM. Harapan dari fenomena ini menimbulkan kesulitan politis ketika banyak negara yang menolak bahwa mereka memiliki kewajiban, yang tentu saja dapat memberikan kemudahan di dalam mendorong perlindungan HAM secara internasional. Dengan kata lain, apa yang kita saksikan saat ini adalah tengah berlangsungnya revolusi HAM, dimana banyak yang telah dihasilkan tetapi masih banyak pula yang harus dilakukan. Kebanyakan dari hukum ini telah tercantum di dalam berbagai instrumen hukum (internasional dan nasional) dan literatur, tetapi penegakkan hukumnya masih lemah. Dengan demikian tugas kita adalah memberikan “gigi” kepada hukum yang antara lain dengan memperkuat mekanisme internasional untuk melindungi HAM dan memperluas yurisdiksinya agar dapat menjangkau seluruh pelosok dunia.

 

2.3          Jenis Mekanisme HAM Internasional

v  Global

Ø  Treaty Base

Ø  Charter Base

v   Regional

Ø   European Human Rights Commission + European Human Right Courts

Ø   American Human Rights Commission + American Human Right Courts

Ø   African Human Rights Commission

v   Pengadilan Pidana Internasional

Ø  Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court)

Ø  Mahkamah Pidana Internasional ad hoc yaitu:

§   International Criminal Tribunal for ex Yugoslovia

§   International Criminal Tribunal for Rwanda

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

A.                  Kesimpulan

 

Hak asasi adalah hak yang dimiliki oleh semua insan yang tidak dipengaruhi oleh asal, ras, dan warga negara dan memiliki dua segi yaitu segi moral dan segi perundangan. Hak asasi manusia (HAM) merupakan substansi dasar dalam kehidupan bermasyarakat di dunia, yang terdiri dari berbagai macam unsur adat istiadat serta budaya yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Hukum hak asasi manusia internasional adalah hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari pelanggaran yang terutama dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalam upaya penggalakan hak-hak tersebut.

Masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu negara. Saat ini telah lahir berbagai lembaga internasional yang memiliki yurisdiksi untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negaranya maupun oleh negara lain. Dalam menegakkan Hak Asasi Manusia Internasional, PBB terbentuk mekanisme untuk menilai sejauh mana negara memenuhi (observe) atau tidak memenuhi norma dan prinsip hak asasi manusia. Mekanisme ini ada yang berhubungan dengan situasi umum sebuah negara dan ada pula yang menanggapi pengaduan bersifat individual Ada pula yang berhubungan dengan semua hak asasi sementara yang lain hanya pada hak-hak asasi tertentu.

Prosedur/mekanisme itu tergantung sejauh mana negara menjadi peserta traktat bersangkutan. Disamping itu secara perlahan pula terbangun mekanisme yang menekankan aspek yudisial yaitu Pengadilan Pidana Internasional Permanen (ICC) berdasarkan Statut Roma. Sistem – system Mekanisme HAM Internasional, yaitu Sistem Mandat, Standar Perburuhan Internasional, dan Sistem Minoritas.

 

 

B.            Saran

 

Walaupun perkembangan dunia sudah semakin maju dan kompleks, selama ini penegakan hak asasi manusia hanya diikat perjanjian bilateral antarnegara yang sifatnya moral. Padahal di sisi lain, masyarat internasional haruslah tunduk pada mekanisme internasional dalam hal penegakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, instrumen internasional sangatlah dibutuhkan untuk mewujudkannya.

Perkembangan HAM saat ini menimbulkan iklim politik yang menempatkan perlindungan HAM sebagai hal yang terpenting di dalam agenda panggung politik internasional kontemporer yang melibatkan pemerintah, organisasi pemerintah, termasuk pula LSM yang memiliki jaringan internasional. Akibatnya adalah, manusia di seluruh muka bumi ini semakin menyadari bahwa Negara dan masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk melindungi HAM. Akan tetapi penegakkan hukumnya masih lemah.

Dengan demikian tugas kita adalah memberikan dorongan kepada hukum yang antara lain dengan memperkuat mekanisme internasional untuk melindungi HAM dan memperluas yurisdiksinya agar dapat menjangkau seluruh pelosok dunia. Untuk melindungi berbagai kelompok manusia, seperti budak belian, kelompok minoritas, penduduk asli, warga negara asing, korban pelanggaran berat HAM, dan kombatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Effendi, A. Masyhur. “Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM)”, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004

 

 

 

 

HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER


TUGAS MATA KULIAH

 

HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER

 

Untuk Memenuhi Nilai Tugas Terstruktur II

 

 

Oleh :

LOVETYA

 

 

Universitas Brawijaya

Fakultas Hukum

Malang

2008

 

 

 

Hukum Diplomatik dan Konsuler

 

“ Tentang Hubungan Konsuler “

Analisis Kasus ditinjau dari Hukum Internasional mengenai hubungan Konsuler antar Negara

 

 

 

 

 

 

POSISI KASUS

INDONESIA-L] GATRA

From: apakabar@clark.net
Date: Sun Aug 31 1997 – 12:15:00 EDT


Forwarded message:
>From owner-indonesia-l@indopubs.com Sun Aug 31 15:04:09 1997
Date: Sun, 31 Aug 1997 12:59:15 -0600 (MDT)
Message-Id: <
199708311859.MAA14189@indopubs.com>
To:
indonesia-l@indopubs.com
From:
apakabar@clark.net
Subject: [INDONESIA-L] GATRA – Lolos dari Kamp Majikan
Sender:
owner-indonesia-l@indopubs.com

INDONESIA-L

http://www.gatra.com/III/41/kri1-41.html

  Nomor 41/III, 30 Agustus 1997
  TKW
  
            Lolos dari Kamp Majikan

  [Image] Dua tenaga kerja wanita asal Indonesia yang bekerja di Arab
            Saudi dan Kuching terbebas dari kekejaman majikan.
  [Image]
  [Image] PENYUSUN Undang-Undang Ketenagakerjaan agaknya perlu lebih
            serius mengupayakan perlindungan tenaga kerja Indonesia di
            luar negeri. Belum usai tarik ulur isi pasal-pasal Rencana
  [Image] Undang-Undang Ketenagakerjaan antara Menteri Tenaga Kerja dan
            DPR, muncul lagi drama penganiayaan tenaga kerja Indonesia di
  [Image] luar negeri. Di Kuching, Malaysia, Celestine A.K. Syafei
            menjadi korban penyiksaan keluarga Mama Daniel. Di Jerman,
  [Image] Misda Indarti menjadi sasaran kekejaman keluarga Jamil
  [Image] Sirajuddin asal Arab Saudi.
  [Image] Kisah kekejaman Jamil Sirajuddin terungkap ketika polisi
  [Image] patroli Jerman menemukan Misda tergeletak kelelahan di pinggir
            jalan tol di Koblenz, Jerman, Rabu pekan lalu. Gadis berusia
  [Image] 19 tahun asal Desa Langon, Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini
            melarikan diri karena tak tahan diperlakukan sewenang-wenang
            oleh majikannya.

            Ketika keluarga majikan masih tertidur lelap, ia bergegas
            kabur. Dengan modal nekat, Misda berusaha keras untuk lolos
            dari tempat yang dirasakannya mirip kamp penyiksaan itu. “Aku
            ndak tahan. Pokoknya, aku mau kabur, ndak tahu mau ke mana,”
            kata Misda kepada Gatra. Usahanya baru berhenti setelah ia
            menempuh jarak 20 kilometer selama hampir 11 jam perjalanan.

            “Pengabdian” Misda pada keluarga Sirajuddin dimulai 14 Mei
            lalu. Setelah mengeluarkan uang Rp 450.000 untuk ongkos
            pengurusan paspor dan surat-surat lainnya, Misda
            diberangkatkan ke Arab Saudi oleh perusahaan pengirim tenaga
            kerja PT Bumenjaya Duta Putra. Ia dijanjikan upah 600 riyal
  [Image] (sekitar Rp 400.000) per bulan. Namun sejak mulai bekerja
            hingga hari ini, hasil jerih payahnya itu tak pernah
            diterimanya.

            Selama ia tinggal dan bekerja dengan Sirajuddin, ungkapan
            kekesalan majikan mulai dari berupa cubitan, sabetan, pukulan,
            hingga bekas setrikaan tak henti mendera Misda. Padahal tugas
            yang dilakukannya tak sedikit. Tak jarang ia harus bekerja
            mulai pukul 06.00 hingga lewat pukul 02.00 keesokan harinya.

            Keberhasilan Misda melarikan diri tersebut merupakan yang
            ketiga dari upaya-upaya sebelumnya yang pernah dilakukannya di
            Arab Saudi. Sebelum itu upayanya gagal karena terhalang pagar
            tinggi yang selalu mengurungnya di rumah Sirajuddin di Arab
            Saudi. Jangankan lari, untuk mengirim surat kepada orangtua
            saja ia dilarang. Untunglah keluarga Sirajuddin mengajaknya
            bertandang ke Jerman, sehingga Misda pun bisa lari.

            Siksaan lebih dahsyat dirasakan Celestine A.K. Syafei.
            Berbagai alasan digunakan sang majikan untuk menyiksa gadis 18
            tahun itu. Tuduhan mencuri makanan, terlambat bangun, lamban
            bekerja, dan berbagai alasan sepele bisa menjadi pengundang
            petaka. Berbagai macam alat, mulai sandal, batang rotan,
            hingga kursi, pernah mendarat di tubuhnya. Tak hanya itu,
            Celestine juga harus membayar denda karena tuduhan tersebut.

            Misalnya, memakan dua buah apel tanpa izin didenda M$ 3 dan
            menggunakan obat tanpa izin didenda M$ 1. Bahkan sekadar untuk
            segelas kopi pun ia harus membayar. Padahal sejak ikut Mama
            Daniel, Mei lalu, Celestine tak pernah menerima upah. Makan
            dua kali sehari hanya bisa dinikmati jika sang majikan sedang
            enak hati. Ia lebih sering hanya mendapat sekali makan sehari,
            bahkan tidak sama sekali. Bukan kesalahannya bila
            sekali-sekali ia mencuri makanan karena kelaparan.

            Kekejian keluarga Daniel itu terbongkar pada 16 Agustus lalu.
            Sepucuk surat kaleng berisi daftar penganiayaan yang dialami
            Celestine masuk ke kotak pos Konsulat Jenderal RI di Kuching.
            Surat itu berisi delapan macam siksaan yang dialami Celestine
            sejak 30 Mei hingga 13 Agustus lalu. Laporan ini ternyata
            benar. Setelah mendapatkan laporan dari Konsulat Jenderal RI,
            Selasa pekan lalu, pihak kepolisian melancarkan operasi
            pembebasan. Saat Celestine diselamatkan, bekas-bekas siksaan
            berupa lebam dan carut-marut masih tampak jelas di wajah dan
            punggung Celestine.

            Kasus seperti yang menimpa Misda dan Celestine bisa jadi juga
            dialami para tenaga kerja Indonesia lainnya. Bukan rahasia
            lagi, keamanan tenaga kerja wanita di luar negeri masih rawan.
            Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) juga kesulitan
            untuk menuntut majikan yang ingkar memenuhi kewajibannya.
            Contohnya yang dialami KBRI di Jerman dalam kasus Misda. Atase
            Imigrasi KBRI di Bonn menemui kesulitan untuk memperkarakan
            majikan Misda secara perdata, lantaran lemahnya bargaining
            position tenaga kerja yang termuat dalam kontrak perjanjian
            kerja. “Tidak ada sanksi bagi majikan yang tidak bersedia
            memenuhi hak-hak pekerjanya,” kata Lukmiardi, Atase Imigrasi,
            pejabat sementara Kepala Bidang Konsuler KBRI Bonn.

            Kalaupun ada pasal yang mengatur tentang perselisihan antara
            pekerja dan majikan, penyelesaiannya hanya diputuskan secara
            kekeluargaan. “Pendekatan seperti ini sulit dilaksanakan,
            terutama di luar negeri, karena hukum di sini tidak mengenal
            adanya musyawarah seperti di Indonesia,” katanya lagi.
            Kalaupun terjadi kompromi, perjanjian tertulis itulah yang
            akan menjadi acuan. Belum lagi soal proses pengadilan yang
            banyak makan waktu dan biaya. Maka, meskipun perkara pidananya
            telah ditangani kepolisian Jerman, perkara perdata masih perlu
            dipertimbangkan lebih jauh untung ruginya.

            A. Kukuh Karsadi, dan Nia Sutiara (Erlangen)

 

 

Analisis Kasus

Ditinjau dari Hukum Internasional mengenai hubungan Konsuler antar Negara

                                                                                                

          Pengiriman TKI – LN, berawal sejak tahun 1887 dengan pengiriman para TKI (Kuli Kontrak) ke negara-negara koloni Belanda seperti ke Suriname, Celedonia dan ke negeri Belanda. Perhatian Pemerintah terhadap tenaga kerja pada umumnya baru dimulai sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, dan Peraturan Menaker No. 4 Tahun 1970 tentang Pengerahan Tenaga Kerja. Peraturan perundang-undangan inipun sangat tidak memadai untuk memberikan perlindungan kepada para tenaga kerja, khususnya TKI-LN. UU No. 14 Tahun 1969 kurang menyentuh secara keseluruhan, karena hanya mengatur buruh manufaktur dan tidak tenaga kerja informal, seperti pembantu rumah tangga.

            Sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan tersebut, sektor swasta yang tergabung dalam Asosiasi Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), mulai berpartisipasi dalam perekrutan dan pengiriman tenaga kerja ke LN sebagai partner pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran di dalam negeri. Sebagai akibatnya, pengiriman TKI – LN tidak saja menjadi program ?Antar Daerah?. Tetapi juga sudah menjadi program nasional yang cukup strategis bagi kebijakan di bidang ketenagakerjaan.

            Kelebihan angkatan kerja dalam situasi pasar bebas pada dasarnya telah memberi peluang bagi pengiriman TKI ke LN. Hal itu dilakukan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi jumlah pengangguran. Namun demikian, kesempatan melakukan pengiriman TKI tidak didukung dengan kualitas pendidikan yang memadai. Akibatnya, TKI di LN sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar HAM.

  

            Untuk mengatasi tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti diantaranya, Keputusan Menteri No. 138/Men/2000 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-204/Men/1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja ke LN, dan Keputusan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja No. Kep-107/BP/1999 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan TKI di Luar Negeri melalui Asuransi, serta Keputusan Menakertrans No. 104A Tahun 2002 tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri. Tidak sampai disitu, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah berusaha untuk memfasilitasi kepentingan para tenaga kerja pada umumnya.

            Namun demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku masih dirasakan sangat tidak mendukung untuk memberikan perlindungan kepada para TKI-LN. Selain tidak mengatur soal perlindungan TKI secara tegas, peraturan perundang-undangan diatas juga tidak memuat sanksi bagi Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) yang melakukan pelanggaran. Yang pasti, sanksi tersebut hanya berupa pencabutan izin usaha penempatan (SIUP). Karena itu, dalam RUU yang sedang dipersiapkan, perlu diatur sanksi pidana yang tegas dan berat bagi pelanggar hukum, baik aparat pemerintah maupun PJTKI. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sudah waktunya jika Pemerintah dan DPR turut memikirkan dikeluarkannya UU tentang TKI-LN. 

            Khusus perlindungan hukum bagi TKI – LN yang memperoleh perlakuan pelecehan seksual atau pembunuhan terhadap majikan karena perlakuan pelecehan seksual sebagaimana terjadi pada para TKW Indonesia di Timur Tengah, memang merupakan kendala yang masih dihadapi. Bantuan hukum dari perwakilan Indonesia (Departemen Luar Negeri) sudah dilakukan, tapi belum memperoleh hasil yang memuaskan. Salah satu penyebabnya dapat saja dikarenakan sistem hukum yang berbeda antara kedua Negara. Disamping itu, hukum Islam maupun sistem hukum di negara mamanupun masih menerapkan perlu adanya keterangan saksi bagi delik perkosaan/perzinahan. Dapat dibayangkan, posisi TKW Indonesia dalam posisi yang lemah..

            Bagi para TKI – LN, bekerja di luar negeri memang suatu tawaran yang menggiurkan bahkan dapat menompang kebutuhan ekonomi keluarganya – seberapapun resiko yang harus ditanggung. Seolah-olah mereka tidak pernah gentar dan jera terhadap perlakuan buruk yang telah diterima rekan seprofesinya demi sejumlah Real. Suatu masalah yang cukup rumit. Mungkin hal ini tidak perlu terjadi terhadap SDM/TKI yang memiliki pendidikan yang memadai.

            Dipihak Pemerintah, perlu diadakan perjanjian bilateral diantara pihak Indonesia dengan negara-negara penerima, khususnya terhadap masalah-masalah hukum. Karena masalah TKI – LN ini menyangkut masalah HAM, maka pengaturannya harus dilakukan melalui bentuk Persetujuan (bukan MoU) seperti Persetujuan Ekstradisi atau bantuan Hukum Timbal-balik, yang nantinya diratifikasi dalam bentuk Undang-undang.

            Menurutnya, banyaknya tenaga kerja ilegal dari Indonesia tidak terlepas dari kegiatan calo tenaga kerja, yang memberikan berbagai kemudahan serta biaya yang murah, sehingga banyak TKI yang pergi tidak ada perlindungan; terlebih UU yang mengcover masalah TKI di Indonesia belum ada. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sebab kehadiran mereka tidak diinginkan dan menjadi sumber masalah di negara Malaysia. Hingga saat ini pendatang ilegal yang masuk ke Malaysia, termasuk dari Indonesia sudah mencapai sekitar 600.000 – 700.000 orang.

            Selain itu tidak ada larangan bagi warga negara yang mempunyai visa untuk berangkat keluar negeri, meski kepergiannya bukan sebagai turis tetapi menjadi pekerja. Sedang untuk mendata di keimigrasikan sangat tidak memungkinkan, karena tidak aturan yang mengaturnya.

            Memang, untuk kasus imigran gelap ini harus dibedakan dengan kasus TKI – LN di Timur-Tengah. Untuk kasus seperti ini perlunya dibuat bilateral agreement antara Indonesia dan negara-negara tujuan TKI – LN. Bilateral agreement ini diperlukan karena tiap negara tujuan mempunyai sistem perburuhan yang mengatur pekerjaan informal, seperti pembantu rumah tangga berbeda-beda. Sedangkan MoU yang selama ini ditandatangani tidak cukup, karena hanya mengatur pekerja industri dan manufaktur saja. Disamping itu, pada umumnya MoU hanya merupakan kesepakatan untuk mengatur bidang tertentu saja; adapun kasus imigran gelap ini memiliki aspek multi dimensi. Tidak hanya masalah TKI, tetapi juga menyangkut masalah imigrasi, keamanan, perbatasan dsb. Untuk itu, perlu adanya koordinasi diantara instansi teknis pemerintah terkait.

Dalam memberikan bantuan hukum terhadap TKI – LN, selain membuat perjanjian dengan negara pengimpor, Departemen Luar Negeri juga harus mengupayakan pelaksanaan dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yaitu tidak boleh menolak WNI untuk kembali ke tanah airnya (seperti kasus Nunukan), kecuali, sebagaimana Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1992 :

a. telah lama meninggalkan Indonesia atau tinggal menetap atau telah menjadi penduduk suatu negara lain dan melakukan tindakan atau bersikap bermusuhan terhadap Negara atau Pemerintah Republik Indonesia;

b. apabila masuk wilayah Indonesia dapat mengganggu jalannya pembangunan, menimbulkan perpecahan bangsa, atau dapat mengganggu stabilitas nasional; atau

c. apabila masuk wilayah Indonesia dapat mengancam keselamatan diri atau keluarganya.

PERAN KONSULER

            Yang dimaksud dengan Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) adalah Fungsi dan tugas Perwakilan Konsuler dalam melaksanakan kepentingan nasional dan warga negaranya sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler (UU No. 1 Tahun 1982 Tanggal 25 Januari 1982) yaitu :

a.         Pasal 5 tentang Fungsi-fungsi konsuler, ayat (a) :

     protecting in the receiving State the interests of the sending State

     and of its nationals, both individuals and bodies corporate, within

     the limits permitted by international law

melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan kepentingan-kepentingan warganegaranya yang berada di negara penerima, baik perseorangan maupun badan-badan hukum, dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Internasional;

            dan ayat (e) :

     helping and assisting nationals, both individuals and bodies

     corporate, of the sending State

menolong dan membantu warga negara negara pengirim baik perseorangan maupun badan-badan usaha.

b. Pasal 36 tentang Komunikasi dan Mengadakan Hubungan dengan Warganegara dari Negara Pengirim, ayat (1b) :

     if he so requests, the competent authorities of the receiving State

     shall, without delay, inform the consular post of the sending State

     if, within its consular district, a national of that State is

     arrested or committed to prison or to custody pending trial or is

     detained in any other manner. Any communication addressed to the

     consular post by the person arrested, in prison, custody or detention

     shall also be forwarded by the said authorities without delay. The

     said authorities shall inform the person concerned without delay of

     his rights under this sub-paragraph

yaitu apabila pejabat konsuler menghendaki, maka instansi-instansi yang berwenang negara penerima harus memberitahukan kepada perwakilan Konsuler dari negara Pengirim secepatnya apabila, diwilayah konsulernya, ada seorang warganegara pengirim ditangkap atau dimasukkan penjara atau ditaruh dibawah pengawasan menunggu sampai diadili atau dengan suatu cara lain ditahan.

c. UU no. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Bab. V tentang Perlindungan kepada Warganegara Indonesia, khususnya Pasal 19 ayat (b) yaitu : Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warganegara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.

 

            Seperti yang telah disebutkan sebelumya disini fungsi Konsuler adalah menolong dan membantu warga negara negara pengirim baik perseorangan maupun badan-badan usaha. Seperti kasus yang dialami Celestine dan Misda, konsuler diharuskan untuk membantu dan menolong Misda dan Celestine.

            Karena Kasus seperti yang menimpa Misda dan Celestine bisa jadi juga dialami para tenaga kerja Indonesia lainnya. Bukan rahasia  lagi, keamanan tenaga kerja wanita di luar negeri masih rawan.


            Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan perwakilan konsuler yang berada di sana  juga
berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warganegara dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Tidak perduli apakah warga Negara tersebut bersalah ataukah dia yang menjadi korban, karena Negara merdeka yang merupakan pemilik kedaulatan penuh mempunyai hak untuk melindungi Warga Negaranya yang butuh perlindungan dari paksaan kedaulatan Negara lain. Terutama bagi Konsuler karena fungsinya adalah mengurus hal – hal yang baerkaitan dengan Warga Negara, seperti pengurusan paspor, visa, ataupun yang berkaitan dengan penganiayaan TKI seperti yang dialami oleh Celestine dan Misda, dan berusaha menyelesaikannya.

 

 

HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Tentang ASEAN CHARTERED


TUGAS MATA KULIAH

 

HUKUM ORGANISASI

INTERNASIONAL

Tentang

ASEAN CHARTERED

 

Untuk Memenuhi Nilai Tugas Terstruktur I

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh :

LOVETYA

 

 

Universitas Brawijaya

Fakultas Hukum

Malang

2008

 

 

 

Hukum Organisasi Internasional

 

“ Tentang ASEAN Chartered “

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. LATAR BELAKANG

 

                Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mencatat sejarah baru dengan ditandatanganinya ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-13 ASEAN di Singapura, Selasa (20/11). Piagam ASEAN tersebut diteken oleh 10 pemimpin negara anggota ASEAN, termasuk Myanmar. Kesepuluh kepala negara atau kepala pemerintahan ASEAN yang membubuhkan tanda tangan pada Piagam ASEAN itu adalah Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei Darussalam), PM Hun Sen (Kamboja), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Indonesia), PM Bouasone Bouphavanh (Laos), Abdullah Ahmad Badawi (Malaysia). Selanjutnya, PM Thein Sein (Myanmar), Gloria Maccapagal Arroyo (Filipina), PM Surayud Chulanont (Thailand), PM Nguyen Tan Dung (Vietnam), dan PM Lee Hsien Loong (Singapura).


                Padahal sebelumnya sejumlah pihak mengkhawatirkan PM Myanmar tidak akan ikut menandatangani dokumen tersebut dikaitkan dengan kondisi politik yang memanas di dalam negeri negara itu.


                Selain Piagam ASEAN, juga ditandatangani tiga deklarasi yaitu cetak biru ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Declaration on the 13th Session of the Conference on Climate Change (UNFCCC), dan Conference of Parties Serving as the Meeting of the Parties (CMP) to the Protocol Kyoto Protocol


                Upacara penandatanganan disaksikan sejumlah menteri dari masing-masing negara dan liput sekitar 100 orang media cetak dan elektronik. Usai penandatanganan, para kepala negara melakukan acara bersulang (toast), yang disambut tepuk tangan para hadirin. Selanjutnya para kepala negara melakukan sesi foto bersama, dilanjutkan dengan foto bersama dengan para menteri luar negeri, dan anggota The Eminent Persons Group (EPG) and Members of High Level Taskforce (HTLF).

 


Tonggak Sejarah



                Piagam ASEAN disebut tonggak sejarah baru karena baru dimiliki ASEAN setelah 40 tahun berdiri. Piagam ASEAN merupakan dokumen yang diharapkan akan mentransformasikan ASEAN dari sebuah asosiasi menjadi suatu organisasi regional yang memiliki leader personality, dan mekanisme dan struktur organisasi yang lebih jelas. Salah satu organ ASEAN yang akan dibentuk sesuai piagam ini adalah Badan HAM ASEAN


                Piagam itu terdiri dari pembukaan, 13 bab, dan 55 pasal. Pasal-pasalnya menegaskan kembali prinsip-prinsip yang tertuang dalam seluruh perjanjian, deklarasi, dan kesepakatan ASEAN


                Dalam penyusunan piagam itu, Indonesia telah menunjukkan kepemimpinannya dalam mendorong disepakatinya hal-hal penting seperti prinsip demokrasi, good governance, dan perlindungan HAM.

 

  1. RUMUSAN MASALAH

 

Dari uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan

1.                   Bagaimana sejarah berdirinya ASEAN ?

2.                   Tujuan dibentuknya Piagam Asean (Asean Chartered) ?

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      SEJARAH BERDIRINYA ASEAN

      

ASEAN adalah kepanjangan dari Association of South East Asia Nations. ASEAN disebut juga sebagai Perbara yang merupakan singkatan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Gedung sekretarian ASEAN berada di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Indonesia. ASEAN didirikan tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. ASEAN diprakarsai oleh 5 menteri luar negeri dari wilayah Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura :

1. Perwakilan Indonesia : Adam Malik
2. Perwakilan Malaysia : Tun Abdul Razak
3. Perwakilan Thailand : Thanat Koman
4. Perwakilan Filipina : Narcisco Ramos
5. Perwakilan Singapura : S. Rajaratnam

Sedangkan terdapat negara-negara lain yang bergabung kemudian ke dalam ASEAN sehingga total menjadi 11 negara, yaitu :

1. Brunei Darussalam tangal 7 Januari 1984
2. Vietnam tangal 28 Juli 1995
3. Myanmar tangal 23 Juli 1997
4. Laos tangal 23 Juli 1997
5. Kamboja tangal 16 Desember 1998

Prinsip Utama ASEAN

Prinsip-prinsip utama ASEAN digariskan seperti berikut:

  1. Menghormati kemerdekaan, kesamaan, integritas dan identitas nasional semua negara
  2. Setiap negara memiliki hak untuk menyelesaikan permasalahan nasionalnya tanpa ada campur tangan dari luar
  3. Penyelesaian perbedaan atau perdebatan antar negara dengan aman
  4. Menolak penggunaan kekuatan dan kekerasan
  5. Meningkatkan kerjasama yang efektif antara anggota

ASEAN dikukuhkan oleh lima negara pengasas; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand di Bangkok Proses pembentukan ASEAN dibuat dalam sebuah penandatanganan perjanjian yang dikenal dengan nama “Deklarasi Bangkok”. Adapun yang bertanda tangan pada Deklarasi Bangkok tersebut adalah para menteri luar negeri saat itu, yaitu Bapak Adam Malik (Indonesia), Narciso R. Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Khoman (Thailand). Pada tanggal 8 Januari 1984, seminggu setelah mencapai kemerdekaannya, negara Brunei masuk menjadi anggota ASEAN. 11 tahun kemudian, tepatnya tanggal 28 Juli 1995. Laos dan Myanmar menjadi anggota dua tahun kemudianya, yaitu pada tanggal 23 Juli 1997. Walaupun Kamboja sudah menjadi anggota ASEAN bersama sama Myanmar dan Laos, Kamboja terpaksa menarik diri disebabkan masalah politik dalam negara tersebut. Namun, dua tahun kemudian Kamboja kembali masuk menjadi anggota ASEAN pada 30 April 1999.

LOGO ASEAN

 

Logo ASEAN membawa arti ASEAN yang stabil, aman, bersatu dan dinamik. Warna logo ada 4 yaitu biru, merah, putih dan kuning. Warna tersebut merupakan warna utama lambang negara-negara ASEAN. Warna biru melambangkan keamanan dan kestabilan. Merah bermaksud semangat dan dinamisme sedangkan putih menunjukkan ketulenan dan kuning melambangkan kemakmuran. Sepuluh tangkai padi melambangkan cita-cita pelopor pembentuk ASEAN di Asia Tenggara, yaitu bersatu dan bersahabat. Bulatan melambangkan kesatuan ASEAN.

 

B.      TUJUAN DIBENTUKNYA PIAGAM ASEAN (ASEAN CHARTERED).

                Tahun 2007 bisa dikatakan bersejarah bagi ASEAN. Kawasan ini memiliki tampilan baru. Ada harapan ASEAN akan terstruktur dan tersistematis.

                Semua itu ditandai dengan ditandatanginya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) sebagai kerangka “konstitusi bersama” ASEAN.

                Keberadaan sebuah piagam agar bisa lebih mengikat negara-negara anggota sebenarnya sudah cukup lama dikumandangkan di kalangan pemikir ASEAN. Akan tetapi, baru pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN tahun 2003 di Bali, keinginan ASEAN untuk memiliki sebuah piagam bersama itu mulai dikonkretkan.

                Ibarat sebuah perusahaan yang harus memiliki status hukum yang jelas, apakah itu perseroan terbatas (PT) atau perusahaan dagang (PD), ASEAN sebagai organisasi regional yang sudah berusia 40 tahun ini memang sudah seharusnya punya status hukum. Idealnya, dengan adanya status hukum itu, ASEAN lebih punya keleluasaan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, khususnya kalangan pebisnis. Dia (ASEAN) juga bisa memiliki aset, visi, dan misi, serta alat/perangkat untuk mewujudkan visi dan misinya tersebut.

                Piagam ASEAN memang tidak otomatis akan mengubah banyak hal di ASEAN. Malah, piagam itu sesungguhnya makin mengekalkan banyak kebiasaan lama. Misalnya, pengambilan keputusan di ASEAN tetap dengan cara konsensus dan KTT ASEAN menjadi tempat tertinggi untuk pengambilan keputusan jika konsensus tidak tercapai atau jika sengketa di antara anggota terjadi.

                Meski demikian, piagam tersebut hadir di saat yang pas, yaitu ketika kawasan Asia Tenggara ini terus berubah dan negara-negara ASEAN semakin memperluas cakupan kerja sama yang lebih kukuh ke Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, dan China), Asia Tengah (India), serta ke selatan (Australia dan Selandia Baru). Juga, KTT Asia Timur yang diselenggarakan beriringan dengan KTT ASEAN.

Tujuan dibentuknya Piagam Asean adalah sebagai berikut

1.             Permudah kerja sama

                Adanya Piagam ASEAN secara organisatoris akan membuat negara anggota ASEAN relatif akan lebih terikat kepada berbagai kesepakatan yang telah dibuat ASEAN. Secara teoretis, piagam itu akan semakin mempermudah kerja sama yang dibuat ASEAN dengan mitra-mitra dialognya.

                Jika pada masa lalu mitra ASEAN terkadang mengeluh bahwa kesepakatan yang telah dibuat dengan ASEAN ternyata hanya dilaksanakan dan dipatuhi oleh beberapa negara anggota ASEAN, kini kekhawatiran itu bisa dikurangi.

                Mekanisme kerja yang lebih jelas di ASEAN seperti tertuang dalam Piagam ASEAN itu juga akan mempermudah mitra-mitra atau calon-calon mitra yang ingin berurusan dengan ASEAN. Begitu pula bila di kemudian hari terjadi persengketaan, Piagam ASEAN telah membuat pengaturan umum untuk penyelesaian sengketa itu.

                Lebih penting lagi secara politis, ASEAN kini menegaskan dirinya sebagai organisasi yang menghormati serta bertekad untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi. Piagam meminta ASEAN menghargai HAM.

                Meski saat ini pelaksanaan kedua hal itu masih jauh dari ideal, setidaknya ASEAN sudah mengakui bahwa penghormatan atas HAM dan demokrasi sebagai nilai-nilai dasar, sama seperti umumnya negara maju. Dengan demikian, hambatan psikologis untuk bekerja sama dengan negara-negara ASEAN seperti sering terdengar selama ini dari beberapa negara maju, setidaknya sudah bisa dikurangi meski hambatan belum sepenuhnya bisa dihapuskan.

2.             Tantangan internal

                Keberhasilan ASEAN melahirkan sebuah piagam bersama tidak otomatis bermakna ASEAN yang semakin solid. Tantangan terbesar justru berada di lingkungan internal ASEAN sendiri, khususnya bagaimana agar benar-benar bisa mengimplementasikan piagam itu sehingga ASEAN menjadi kekuatan yang menyatu dan tidak terpecah belah.

                Bagaimanapun, kehadiran Piagam ASEAN, yang di dalamnya mengharuskan para anggota mematuhi apa-apa yang sudah diputuskan bersama oleh ASEAN, akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi beberapa pihak. Mereka ini sebenarnya menaruh keberatan atas keputusan bersama itu. Meski demikian, Piagam ASEAN memang telah didesain sedemikian rupa sehingga tidak terlalu keras terhadap para anggotanya yang belum bisa menaati kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat.

                Celah-celah untuk kompromi yang sering kali diistilahkan banyak kalangan sebagai cara ASEAN (the ASEAN way) masih banyak diakomodasi di dalam piagam tersebut. Di bidang ekonomi, misalnya, Piagam ASEAN menjamin hak negara-negara anggota untuk berpartisipasi secara fleksibel dalam pelaksanaan komitmen-komitmen ekonomi di ASEAN. Begitu pula dalam pelaksanaan prinsip-prinsip “politik” ASEAN, seperti khususnya demokrasi dan penghormatan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia, asas yang fleksibel tetap dipertahankan.

                Satu hal penting dalam Piagam ASEAN yang memang sudah selayaknya dilakukan adalah menjadikan organisasi ini sebagai organisasi yang berorientasi pada rakyat atau bukan organisasi birokrat semata. Dengan demikian, dibuka bahkan didorong kesempatan lebih besar kepada warga masyarakat ASEAN untuk berinteraksi satu sama lain dengan lebih intens.

                Pergaulan rakyat ASEAN di kawasan regional dan internasional itu tentu akan berkontribusi positif kepada kerja sama ASEAN dengan mitra-mitranya di seluruh kawasan.

3.             Langkah paling maju

Ada tiga rencana ASEAN yang dituliskan di piagam itu. Tiga hal itu adalah menginginkan lahirnya Komunitas Ekonomi ASEAN, Komunitas Keamanan ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN.

                Jangan skeptis dulu dengan rencana pembentukan komunitas itu. Atau jangan melihat realitas sekarang jika ingin menilai prospek pembentukan tiga jenis komunitas itu. ASEAN bisa saja tidak terlihat berwibawa, melihat realitas sekarang, dengan mayoritas anggotanya punya masalah tersendiri yang tergolong berat. Beberapa di antaranya bahkan masih tergolong negara paria.

                Sesungguhnya, rencana pembentukan komunitas itu merupakan refleksi dari tajamnya visi para pemikir ASEAN. Piagam itu disusun para pakar atau figur terkenal di ASEAN. Wakil dari Indonesia adalah mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas.

                Mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas terkesan jengkel dengan analisis pengamat yang relatif selalu skeptis melihat ASEAN. “Mereka itu kadang genit, ya,” demikian kalimat lucu dari Ali Alatas mengomentari piagam yang disambut dingin oleh pengamat.

4.             Piagam merefleksikan pandangan jauh ke depan.

                Bahkan, piagam secara tersirat akan membuat ASEAN malu jika tidak bisa memenuhinya di kemudian hari. Inilah sumbangsih para pemikir ASEAN. Ini merupakan bukti bahwa para pakar ASEAN tidak dungu, tetapi punya sudut pandang yang strategis menuju masa depan.

                Hal ini diperkuat lagi dengan rencana pemerintah ASEAN, yang pada November lalu, di Singapura, sudah menandatangani deklarasi pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Bahkan, pada tahun 2008 sudah ada langkah untuk mewujudkan komunitas ekonomi ini. Tujuan akhirnya adalah aliran barang, jasa, warga yang relatif lebih bebas di ASEAN.

                Ini strategis mengingat contoh empiris, negara kaya di dunia menjadi makmur karena mobilitas itu. Para teknokrat ekonomi dan para figur terkenal ASEAN sudah memberi contoh soal penyusunan langkah ke depan.

                Sekarang ini, eksekusinya ada di lingkungan pemerintah di ASEAN yang sarat problem, bahkan masih suka menyiksa rakyat.

                Apakah junta Myanmar tahu piagam, atau lebih percaya piagam ketimbang paranormal? Ini hanya contoh kecil. Tetapi sudahlah, semoga waktu akan mengubah perangai dan perilaku sebagian pemerintahan di ASEAN, yang juga masih sering sekadar berkomitmen dan tidak bertindak nyata. Setidaknya mereka masih mau menorehkan sejarah baru dengan menandatangani Piagam ASEAN dan juga cetak biru Komunitas Ekonomi ASEAN 2015

5.             Strategis

                Piagam itu sendiri dinilai strategis karena akan menjadi landasan hukum yang menjamin integrasi politik, sosial, ekonomi, budaya, keamanan, demokratisasi, perlindungan hak asasi, dan pelestarian lingkungan.

                Pembuatan piagam merupakan terobosan penting dalam sejarah ASEAN, yang selama 40 tahun lebih bersifat peguyuban. Dalam menghadapi tantangan 40 tahun kedua, ASEAN memang membutuhkan pijakan hukum yang lebih jelas dalam membangun blok politik dan ekonomi.