TUGAS MATA KULIAH
HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER
Untuk Memenuhi Nilai Tugas Terstruktur II
Oleh :
LOVETYA
Universitas Brawijaya
Fakultas Hukum
Malang
2008
Hukum Diplomatik dan Konsuler
“ Tentang Hubungan Konsuler “
Analisis Kasus ditinjau dari Hukum Internasional mengenai hubungan Konsuler antar Negara
POSISI KASUS
INDONESIA-L] GATRA
From: apakabar@clark.net
Date: Sun Aug 31 1997 – 12:15:00 EDT
Forwarded message:
>From owner-indonesia-l@indopubs.com Sun Aug 31 15:04:09 1997
Date: Sun, 31 Aug 1997 12:59:15 -0600 (MDT)
Message-Id: <199708311859.MAA14189@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@clark.net
Subject: [INDONESIA-L] GATRA – Lolos dari Kamp Majikan
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com
INDONESIA-L
http://www.gatra.com/III/41/kri1-41.html
Nomor 41/III, 30 Agustus 1997
TKW
Lolos dari Kamp Majikan
[Image] Dua tenaga kerja wanita asal Indonesia yang bekerja di Arab
Saudi dan Kuching terbebas dari kekejaman majikan.
[Image]
[Image] PENYUSUN Undang-Undang Ketenagakerjaan agaknya perlu lebih
serius mengupayakan perlindungan tenaga kerja Indonesia di
luar negeri. Belum usai tarik ulur isi pasal-pasal Rencana
[Image] Undang-Undang Ketenagakerjaan antara Menteri Tenaga Kerja dan
DPR, muncul lagi drama penganiayaan tenaga kerja Indonesia di
[Image] luar negeri. Di Kuching, Malaysia, Celestine A.K. Syafei
menjadi korban penyiksaan keluarga Mama Daniel. Di Jerman,
[Image] Misda Indarti menjadi sasaran kekejaman keluarga Jamil
[Image] Sirajuddin asal Arab Saudi.
[Image] Kisah kekejaman Jamil Sirajuddin terungkap ketika polisi
[Image] patroli Jerman menemukan Misda tergeletak kelelahan di pinggir
jalan tol di Koblenz, Jerman, Rabu pekan lalu. Gadis berusia
[Image] 19 tahun asal Desa Langon, Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini
melarikan diri karena tak tahan diperlakukan sewenang-wenang
oleh majikannya.
Ketika keluarga majikan masih tertidur lelap, ia bergegas
kabur. Dengan modal nekat, Misda berusaha keras untuk lolos
dari tempat yang dirasakannya mirip kamp penyiksaan itu. “Aku
ndak tahan. Pokoknya, aku mau kabur, ndak tahu mau ke mana,”
kata Misda kepada Gatra. Usahanya baru berhenti setelah ia
menempuh jarak 20 kilometer selama hampir 11 jam perjalanan.
“Pengabdian” Misda pada keluarga Sirajuddin dimulai 14 Mei
lalu. Setelah mengeluarkan uang Rp 450.000 untuk ongkos
pengurusan paspor dan surat-surat lainnya, Misda
diberangkatkan ke Arab Saudi oleh perusahaan pengirim tenaga
kerja PT Bumenjaya Duta Putra. Ia dijanjikan upah 600 riyal
[Image] (sekitar Rp 400.000) per bulan. Namun sejak mulai bekerja
hingga hari ini, hasil jerih payahnya itu tak pernah
diterimanya.
Selama ia tinggal dan bekerja dengan Sirajuddin, ungkapan
kekesalan majikan mulai dari berupa cubitan, sabetan, pukulan,
hingga bekas setrikaan tak henti mendera Misda. Padahal tugas
yang dilakukannya tak sedikit. Tak jarang ia harus bekerja
mulai pukul 06.00 hingga lewat pukul 02.00 keesokan harinya.
Keberhasilan Misda melarikan diri tersebut merupakan yang
ketiga dari upaya-upaya sebelumnya yang pernah dilakukannya di
Arab Saudi. Sebelum itu upayanya gagal karena terhalang pagar
tinggi yang selalu mengurungnya di rumah Sirajuddin di Arab
Saudi. Jangankan lari, untuk mengirim surat kepada orangtua
saja ia dilarang. Untunglah keluarga Sirajuddin mengajaknya
bertandang ke Jerman, sehingga Misda pun bisa lari.
Siksaan lebih dahsyat dirasakan Celestine A.K. Syafei.
Berbagai alasan digunakan sang majikan untuk menyiksa gadis 18
tahun itu. Tuduhan mencuri makanan, terlambat bangun, lamban
bekerja, dan berbagai alasan sepele bisa menjadi pengundang
petaka. Berbagai macam alat, mulai sandal, batang rotan,
hingga kursi, pernah mendarat di tubuhnya. Tak hanya itu,
Celestine juga harus membayar denda karena tuduhan tersebut.
Misalnya, memakan dua buah apel tanpa izin didenda M$ 3 dan
menggunakan obat tanpa izin didenda M$ 1. Bahkan sekadar untuk
segelas kopi pun ia harus membayar. Padahal sejak ikut Mama
Daniel, Mei lalu, Celestine tak pernah menerima upah. Makan
dua kali sehari hanya bisa dinikmati jika sang majikan sedang
enak hati. Ia lebih sering hanya mendapat sekali makan sehari,
bahkan tidak sama sekali. Bukan kesalahannya bila
sekali-sekali ia mencuri makanan karena kelaparan.
Kekejian keluarga Daniel itu terbongkar pada 16 Agustus lalu.
Sepucuk surat kaleng berisi daftar penganiayaan yang dialami
Celestine masuk ke kotak pos Konsulat Jenderal RI di Kuching.
Surat itu berisi delapan macam siksaan yang dialami Celestine
sejak 30 Mei hingga 13 Agustus lalu. Laporan ini ternyata
benar. Setelah mendapatkan laporan dari Konsulat Jenderal RI,
Selasa pekan lalu, pihak kepolisian melancarkan operasi
pembebasan. Saat Celestine diselamatkan, bekas-bekas siksaan
berupa lebam dan carut-marut masih tampak jelas di wajah dan
punggung Celestine.
Kasus seperti yang menimpa Misda dan Celestine bisa jadi juga
dialami para tenaga kerja Indonesia lainnya. Bukan rahasia
lagi, keamanan tenaga kerja wanita di luar negeri masih rawan.
Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) juga kesulitan
untuk menuntut majikan yang ingkar memenuhi kewajibannya.
Contohnya yang dialami KBRI di Jerman dalam kasus Misda. Atase
Imigrasi KBRI di Bonn menemui kesulitan untuk memperkarakan
majikan Misda secara perdata, lantaran lemahnya bargaining
position tenaga kerja yang termuat dalam kontrak perjanjian
kerja. “Tidak ada sanksi bagi majikan yang tidak bersedia
memenuhi hak-hak pekerjanya,” kata Lukmiardi, Atase Imigrasi,
pejabat sementara Kepala Bidang Konsuler KBRI Bonn.
Kalaupun ada pasal yang mengatur tentang perselisihan antara
pekerja dan majikan, penyelesaiannya hanya diputuskan secara
kekeluargaan. “Pendekatan seperti ini sulit dilaksanakan,
terutama di luar negeri, karena hukum di sini tidak mengenal
adanya musyawarah seperti di Indonesia,” katanya lagi.
Kalaupun terjadi kompromi, perjanjian tertulis itulah yang
akan menjadi acuan. Belum lagi soal proses pengadilan yang
banyak makan waktu dan biaya. Maka, meskipun perkara pidananya
telah ditangani kepolisian Jerman, perkara perdata masih perlu
dipertimbangkan lebih jauh untung ruginya.
A. Kukuh Karsadi, dan Nia Sutiara (Erlangen)
Analisis Kasus
Ditinjau dari Hukum Internasional mengenai hubungan Konsuler antar Negara
Pengiriman TKI – LN, berawal sejak tahun 1887 dengan pengiriman para TKI (Kuli Kontrak) ke negara-negara koloni Belanda seperti ke Suriname, Celedonia dan ke negeri Belanda. Perhatian Pemerintah terhadap tenaga kerja pada umumnya baru dimulai sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, dan Peraturan Menaker No. 4 Tahun 1970 tentang Pengerahan Tenaga Kerja. Peraturan perundang-undangan inipun sangat tidak memadai untuk memberikan perlindungan kepada para tenaga kerja, khususnya TKI-LN. UU No. 14 Tahun 1969 kurang menyentuh secara keseluruhan, karena hanya mengatur buruh manufaktur dan tidak tenaga kerja informal, seperti pembantu rumah tangga.
Sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan tersebut, sektor swasta yang tergabung dalam Asosiasi Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), mulai berpartisipasi dalam perekrutan dan pengiriman tenaga kerja ke LN sebagai partner pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran di dalam negeri. Sebagai akibatnya, pengiriman TKI – LN tidak saja menjadi program ?Antar Daerah?. Tetapi juga sudah menjadi program nasional yang cukup strategis bagi kebijakan di bidang ketenagakerjaan.
Kelebihan angkatan kerja dalam situasi pasar bebas pada dasarnya telah memberi peluang bagi pengiriman TKI ke LN. Hal itu dilakukan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi jumlah pengangguran. Namun demikian, kesempatan melakukan pengiriman TKI tidak didukung dengan kualitas pendidikan yang memadai. Akibatnya, TKI di LN sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar HAM.
Untuk mengatasi tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti diantaranya, Keputusan Menteri No. 138/Men/2000 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-204/Men/1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja ke LN, dan Keputusan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja No. Kep-107/BP/1999 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan TKI di Luar Negeri melalui Asuransi, serta Keputusan Menakertrans No. 104A Tahun 2002 tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri. Tidak sampai disitu, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah berusaha untuk memfasilitasi kepentingan para tenaga kerja pada umumnya.
Namun demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku masih dirasakan sangat tidak mendukung untuk memberikan perlindungan kepada para TKI-LN. Selain tidak mengatur soal perlindungan TKI secara tegas, peraturan perundang-undangan diatas juga tidak memuat sanksi bagi Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) yang melakukan pelanggaran. Yang pasti, sanksi tersebut hanya berupa pencabutan izin usaha penempatan (SIUP). Karena itu, dalam RUU yang sedang dipersiapkan, perlu diatur sanksi pidana yang tegas dan berat bagi pelanggar hukum, baik aparat pemerintah maupun PJTKI. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sudah waktunya jika Pemerintah dan DPR turut memikirkan dikeluarkannya UU tentang TKI-LN.
Khusus perlindungan hukum bagi TKI – LN yang memperoleh perlakuan pelecehan seksual atau pembunuhan terhadap majikan karena perlakuan pelecehan seksual sebagaimana terjadi pada para TKW Indonesia di Timur Tengah, memang merupakan kendala yang masih dihadapi. Bantuan hukum dari perwakilan Indonesia (Departemen Luar Negeri) sudah dilakukan, tapi belum memperoleh hasil yang memuaskan. Salah satu penyebabnya dapat saja dikarenakan sistem hukum yang berbeda antara kedua Negara. Disamping itu, hukum Islam maupun sistem hukum di negara mamanupun masih menerapkan perlu adanya keterangan saksi bagi delik perkosaan/perzinahan. Dapat dibayangkan, posisi TKW Indonesia dalam posisi yang lemah..
Bagi para TKI – LN, bekerja di luar negeri memang suatu tawaran yang menggiurkan bahkan dapat menompang kebutuhan ekonomi keluarganya – seberapapun resiko yang harus ditanggung. Seolah-olah mereka tidak pernah gentar dan jera terhadap perlakuan buruk yang telah diterima rekan seprofesinya demi sejumlah Real. Suatu masalah yang cukup rumit. Mungkin hal ini tidak perlu terjadi terhadap SDM/TKI yang memiliki pendidikan yang memadai.
Dipihak Pemerintah, perlu diadakan perjanjian bilateral diantara pihak Indonesia dengan negara-negara penerima, khususnya terhadap masalah-masalah hukum. Karena masalah TKI – LN ini menyangkut masalah HAM, maka pengaturannya harus dilakukan melalui bentuk Persetujuan (bukan MoU) seperti Persetujuan Ekstradisi atau bantuan Hukum Timbal-balik, yang nantinya diratifikasi dalam bentuk Undang-undang.
Menurutnya, banyaknya tenaga kerja ilegal dari Indonesia tidak terlepas dari kegiatan calo tenaga kerja, yang memberikan berbagai kemudahan serta biaya yang murah, sehingga banyak TKI yang pergi tidak ada perlindungan; terlebih UU yang mengcover masalah TKI di Indonesia belum ada. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sebab kehadiran mereka tidak diinginkan dan menjadi sumber masalah di negara Malaysia. Hingga saat ini pendatang ilegal yang masuk ke Malaysia, termasuk dari Indonesia sudah mencapai sekitar 600.000 – 700.000 orang.
Selain itu tidak ada larangan bagi warga negara yang mempunyai visa untuk berangkat keluar negeri, meski kepergiannya bukan sebagai turis tetapi menjadi pekerja. Sedang untuk mendata di keimigrasikan sangat tidak memungkinkan, karena tidak aturan yang mengaturnya.
Memang, untuk kasus imigran gelap ini harus dibedakan dengan kasus TKI – LN di Timur-Tengah. Untuk kasus seperti ini perlunya dibuat bilateral agreement antara Indonesia dan negara-negara tujuan TKI – LN. Bilateral agreement ini diperlukan karena tiap negara tujuan mempunyai sistem perburuhan yang mengatur pekerjaan informal, seperti pembantu rumah tangga berbeda-beda. Sedangkan MoU yang selama ini ditandatangani tidak cukup, karena hanya mengatur pekerja industri dan manufaktur saja. Disamping itu, pada umumnya MoU hanya merupakan kesepakatan untuk mengatur bidang tertentu saja; adapun kasus imigran gelap ini memiliki aspek multi dimensi. Tidak hanya masalah TKI, tetapi juga menyangkut masalah imigrasi, keamanan, perbatasan dsb. Untuk itu, perlu adanya koordinasi diantara instansi teknis pemerintah terkait.
Dalam memberikan bantuan hukum terhadap TKI – LN, selain membuat perjanjian dengan negara pengimpor, Departemen Luar Negeri juga harus mengupayakan pelaksanaan dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yaitu tidak boleh menolak WNI untuk kembali ke tanah airnya (seperti kasus Nunukan), kecuali, sebagaimana Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1992 :
a. telah lama meninggalkan Indonesia atau tinggal menetap atau telah menjadi penduduk suatu negara lain dan melakukan tindakan atau bersikap bermusuhan terhadap Negara atau Pemerintah Republik Indonesia;
b. apabila masuk wilayah Indonesia dapat mengganggu jalannya pembangunan, menimbulkan perpecahan bangsa, atau dapat mengganggu stabilitas nasional; atau
c. apabila masuk wilayah Indonesia dapat mengancam keselamatan diri atau keluarganya.
PERAN KONSULER
Yang dimaksud dengan Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) adalah Fungsi dan tugas Perwakilan Konsuler dalam melaksanakan kepentingan nasional dan warga negaranya sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler (UU No. 1 Tahun 1982 Tanggal 25 Januari 1982) yaitu :
a. Pasal 5 tentang Fungsi-fungsi konsuler, ayat (a) :
protecting in the receiving State the interests of the sending State
and of its nationals, both individuals and bodies corporate, within
the limits permitted by international law
melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan kepentingan-kepentingan warganegaranya yang berada di negara penerima, baik perseorangan maupun badan-badan hukum, dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Internasional;
dan ayat (e) :
helping and assisting nationals, both individuals and bodies
corporate, of the sending State
menolong dan membantu warga negara negara pengirim baik perseorangan maupun badan-badan usaha.
b. Pasal 36 tentang Komunikasi dan Mengadakan Hubungan dengan Warganegara dari Negara Pengirim, ayat (1b) :
if he so requests, the competent authorities of the receiving State
shall, without delay, inform the consular post of the sending State
if, within its consular district, a national of that State is
arrested or committed to prison or to custody pending trial or is
detained in any other manner. Any communication addressed to the
consular post by the person arrested, in prison, custody or detention
shall also be forwarded by the said authorities without delay. The
said authorities shall inform the person concerned without delay of
his rights under this sub-paragraph
yaitu apabila pejabat konsuler menghendaki, maka instansi-instansi yang berwenang negara penerima harus memberitahukan kepada perwakilan Konsuler dari negara Pengirim secepatnya apabila, diwilayah konsulernya, ada seorang warganegara pengirim ditangkap atau dimasukkan penjara atau ditaruh dibawah pengawasan menunggu sampai diadili atau dengan suatu cara lain ditahan.
c. UU no. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Bab. V tentang Perlindungan kepada Warganegara Indonesia, khususnya Pasal 19 ayat (b) yaitu : Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warganegara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.
Seperti yang telah disebutkan sebelumya disini fungsi Konsuler adalah menolong dan membantu warga negara negara pengirim baik perseorangan maupun badan-badan usaha. Seperti kasus yang dialami Celestine dan Misda, konsuler diharuskan untuk membantu dan menolong Misda dan Celestine.
Karena Kasus seperti yang menimpa Misda dan Celestine bisa jadi juga dialami para tenaga kerja Indonesia lainnya. Bukan rahasia lagi, keamanan tenaga kerja wanita di luar negeri masih rawan.
Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan perwakilan konsuler yang berada di sana juga berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warganegara dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Tidak perduli apakah warga Negara tersebut bersalah ataukah dia yang menjadi korban, karena Negara merdeka yang merupakan pemilik kedaulatan penuh mempunyai hak untuk melindungi Warga Negaranya yang butuh perlindungan dari paksaan kedaulatan Negara lain. Terutama bagi Konsuler karena fungsinya adalah mengurus hal – hal yang baerkaitan dengan Warga Negara, seperti pengurusan paspor, visa, ataupun yang berkaitan dengan penganiayaan TKI seperti yang dialami oleh Celestine dan Misda, dan berusaha menyelesaikannya.
Pingback: HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER | Fairy Tail Manga
nuhun …
atas informasi yang diberikan mengenai perindungan tenaga kerja indonesia di luar negeri, mudah-mudahan dapat di apresiasi positif oleh pemerintah indonesia…
hidup pahlawan devisa ,,,
hidup rakyat indonesia ,,,
hidup mahasiswa ….
HIDUP MAHASISWA! hehehe.. pokonya tetep hidup mahasiswa, walaupun mungkin ( mungkin lho ya…:p ) bentar lagi aQ udah bukan mahasiswa lagi 🙂
yup samaa2 senang bisa membantu lhooo….
mbak,,,aku sedang kehilangan makna mahasiswa yang sering digembor-gemborkan oleh sebagian teman2 dalam orasi2 dalam unjuk rasa…
sebenarnya ini bentuk kepedulian ato hanya menjaga imej BEM agar kelihatan punya wibawa si??
terkadang saya kurang menangkap arti unjuk rasa,yang banyak diwarnai kericuhan
bukan berarti saya menyalahkan mahasiswa krna saya sendiri masih mahasiswa,,,tapi terkadang siang hari yang panas,,,tidak adanya pejabat yang mendengar suara si orator,,,ini mgkin yg membuat teman2 jadi gampang naik darah saat ditertibkan
yang “tidak menhargai kebebasan berpendapat” lah…yg inilah,,,yg itu lah….
saya cuma mau ngasih saran buat teman2 mahasiswa,,,pandang dulu masalah yg tjdi,,n jgn anarkis…
mereka (pejabat) yg korup ato yg tidak amanah pasti bisa kita ikut memberantasnya dg mendatangi atasannya n disertai bukti yg jelas,,,jgn asal demo tanpa pemecahan masalah,,,
mahasiswa itu terdidik ….ok coy??
perhatian pemrintah terhadap tenaga bukan dimulai tahun 1969 tapi telah dimulai sejak tahun 1948 yakni dengan dikeluarkannya uu no 2 tahun 1948. malah uu itu yang lebih relevan digunakan dari pada uu kt yg sekarang ini.
Makasih atas info’nya mengenai TKI-TKI yg ada di luar negeri…
Dan semoga saja bisa ditindaklanjuti oleh para pejabat yang berwenang…
…
Hidup “mahasiswa”…!
saat tertentu memang membuat bingung banyak orang(mahasiswa) apalagi pejabat korup, tpi pda umumnya mereka suka mahasiswa n banyak memerlukan mahasiswa, contoh sederhana “kalo ada maunya dibalik kepentingan politik” tapi itu sah2 saja karna mereka sebelumnya pernah jadi mahasiswa.
dihadapkan dengan kondisi sekarang, mereka pandai berkelit, namun mahasiswa punya kepedulian n kompeten terhadap itu, KLO MO NANGKAP ULAR PEGANG KEPALANYA maka ekornya akan tunduk, sama halnya dengan masalah sosial yg sudah kebablasan sekarang (“sistemik”) hidup mahasiwa ttap brkarya lanjutkan cita2 luhur mu.
makasih yaaa!!!!!!!!!
kog yang dibahas tentang tki… materi kuliah yg umum mana…
good article